Tuesday, April 22, 2008
Nurani untuk Poligami

Suatu pagi saat liburan sekolah saya mengantar ummy belanja di pasar dengan mengendarai sepeda motor. Senang sekali rasanya melihat suasana desa yang saya tinggalkan selama lebih setengah tahun. Saat melewati desa tetangga, saya melihat rumah yang dalam pikiran saya agak aneh. Rumah itu besar tapi tidak selesai dibangun dan dibiarkan begitu saja. Sayapun menanyakannya pada ummy tentang rumah itu. Ummy akhirnya menceritakan panjang lebar tentang rumah yang tidak jadi dibangun itu. Itu adalah rumah yang dibangun seorang kyai di Bangkalan (kota kabupaten saya) untuk istri barunya, tapi sekarang istri itu dia ceraikan tanpa alasan jelas dan rumah yang rencananya akan diberikan untuk si istri itu urung dia bangun. Sekarang Si istri hidup sendiri dengan seorang anakya yang masih kecil.

Sebagai seorang perempuan, ummy pasti tahu persis perasaan istri baru sang kyiai terebut. Bagimana rasanya menjadi istri ke dua (atau bahkan ke-3), hidup sembunyi-sembunyi (karna tidak tenang) dari (terror)istri tua, dikunjungi suami hanya apabila dia sedang mood untuk ‘bermain’ dan dicerai ketika melahirkan anak pertama. Maka dari itu, ummy terkesan agak emosi ketika bercerita sehingga di akhir ceritanya beliau mengatakan, ‘’… tadek kiyaeh tadek sapah, mon denbeden, dusah kiyah!’’ (Tak pandang kyai atau siapa, kalau berbuat suatu yang tidak benar, dia juga berdosa!)

Dalam kasus poligami, wanita memang lebih gampang berempati dibandingkan lelaki. Selain karna perasaan wanita memang lebih peka juga karna kaum wanitalah yang menjadi korban. Mereka lebih mengedepankan hati nurani dari pada menerima legitimasi teks agama (Qur’an, hadits dan kitab-kitab turats) yang memang banyak digunakan para agamawan untuk mendukung kebiasaannya ini.

Mengedepankan nurani dalam semua hal memang banyak dilupakan orang akhir-akhir ini. Salah satu contohnya adalah dalam kasus poligami ini.

Sekali waktu pernah seorang nenek curhat pada saya tentang anaknya yang dimadu oleh menantunya. Dengan geram dan marah nenek itu bercerita sambil menangis. Dia mengatakan, sebagai ibu dia tidak tega membayangkan betapa sakit hati anak perepuannya. Dia juga mengatakan dengan nada sinis ‘ nyaman yeh daddhih reng lake’?!’ (enak benar jadi laki-laki!)

Sewaktu duduk di bangku kelas 3 MAN, saya juga punya teman yang kakak perempuannya menjadi istri muda seorang kyai. Dia sering mengatakan bahwa kakaknya tersebut tidak pernah mendapatkan hak selayaknya istri. Dia hanya dikunjungi sang kyai hanya apabila sedang suci dari haidl selebihnya sang suami bagaikan orang lain dalam kehidupannya bahkan untuk anak-anaknya sendiri. Setiap kali mendengar ceritanya tentang kehidupan kakak perepuannya, saya selalu merasa sedih, tidak tega, ingin berteriak marah, berontak, mengggat dan lain semacamnya. Sehingga saya sampai pada satu azam bahwa suatu hari nanti saya harus merubah keadaan (kebiasaan)ini, minimal mengeritiknya. Meskipun dengan itu saya akan terkucilkan dari lingkungan saya karna dianggap orang yang lancang dan kurang ajar.

***

Bila saya katakan, ‘buanglah dulu keterikatan kita pada teks-teks agama dalam kasus ini’, bukan berarti saya tidak percaya pada teks-teks itu. Tapi saya selalu berfikir, apakah hanya dengan membacakan teks-teks itu lalu serta merta masalah menjadi selesai? Apakah dengan legitimasi teks-teks itu semua praktek poligami itu mejadi baik dan terpuji? Apakah semua sighat amar (bentuk kata perintah) di dalam al-Qur’an berarti kewajiban bagi kita? Bukankah ayat poligami itu terikat juga dengan sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan tidak bisa kita ambil secara sepenggal-sepenggal? Bukankah syariat islam punya maqashid kemaslahatan dan rahmat bukan untuk menuruti nafsu dan mencari kesenangan?

Cobalah kita pikirkan dengan hati jernih, akal sehat dan nurani yang tulus bagaimana perasaan kita bila istri kita pamit untuk bersuami lagi. Bagaimana perasaan kita bila anak gadis kita ternyata dimadu oleh menantu kita. Jikalau kita tidak rela istri kita (maaf) tidur dengan laki-laki lain begitupun juga istri kita tidak rela kita tidur dengan wanita lain. Bukankah ini logis?!

Ayat yang biasa dibuat alat pembenar praktek poligami adalah ayat ke 3 surat al-Nisa. Ayat itu diturunkan ketika umat muslim mengalami chaos akibat perang. Banyak anak yatim dan janda-janda yang terlantar akibat suaminya menjadi syahid di perang. Maka Allah memerintahkan umat islam agar memerhatikan hak-hak anak yatim dan juga mengawini wanita-wanita yang halal bagi mereka dua, tiga, atau empat orang jika mereka merasa yakin akan bisa berbuat adil dalam memberikan hak-hak para istri dan juga yatim itu. Tetapi jika tidak, maka umat muslim diperintahkan untuk menikahi seorang istri saja (monogami) karna itu adalah jalan satu-satunya untuk tidak berbuat dlalim pada para istri itu.

Dari gambaran di atas kita bisa fahami bahwa format ideal kehidupan berumah tangga adalah monogami.

Tetapi dalam kenyataan dan prakteknya, ayat itu sering disalah tafsirkan. Para pemuka agama sering hanya mengambil penggalan dari ayat utuh itu dan menafsirkannya secara tekstual (harfiyah). Sehingga jadilah ayat itu seperti perintah untuk semua laki-laki muslim untuk menikah lebih dari satu tanpa memikirkan konsekwensi dan syarat-syaratnya. Ditambah lagi dengan kultur dalam masyarakat yang berpanutan pada tokoh agama (baca:Kyai) secara membabi buta. Dalam pandangan masyarakat awam, kyai seperti dianggap mempunyai kelebihan hingga tingkah laku dan ucapannya dianggap kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

***

Sang Nabi agung saw pernah besabda, ‘istifta’ nafsak!’ (bertanyalah pada hati nuranimu). Menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam beragama dan menafsirkan teks-teks keagamaan sudah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar di masa kita sekarang. Selain untuk menghindari diri kita dari menjadi pemuja teks, korban teks atau bahkan budak teks, hal itu juga berguna untuk menjadi tolok ukur kebenaran dan kebaikan. Sehingga kita akan menjadikannya sebagai nilai dan standard untuk mengukur baik-buruk pekerjaan seseorang.

Siapapun itu termasuk para agamawan harus kita posisikan kembali sebagaimana mestinya. Mereka adalah juga manusia biasa yang tidak bisa luput dari dosa dan salah. Mereka bukan Tuhan bukan juga Nabi yang mengetahui hakikat kebenaran atau sesuatu yang akan terjadi nanti. Membiarkan mereka berbuat semaunya tanpa ada keberanian mengeritik hanya akan semakin membuat mereka bertambah congkak dalam posisinya. Jika ini kita biarkan, sejarah revolusi gereja di Prancis bukan tidak mungkin akan juga segera terjadi di Madura. Ketika para rijaluddin (pemuka agama) hanya menjadikan ajaran agama sebagai legitimasi perbuatannya (kesenagannya) yang bertentangan dengan akal sehat, mengabaikan hati nurani dan menginjak nilai-nilai kemanusiaan. Tinggal menunggu masa yang tepat untuk menyaksikan seorang Martin Luther yang akan menyadarkan mereka dari kecongkakannya.

Dengan cara ini tidak akan ada lagi seseorang yang mentang-mentang merasa sebagai penguasa ajaran islam tapi perbuatannya menyalahi ajaran islam itu sendiri.

Adalah salah jika menikahi banyak istri seperti yang dipraktikkan Rasul dikatakan sebagai sunah. Nabi menikahi mereka bukan untuk bersenang-senang tapi untuk menolong mereka dari menjadi janda terlantar dan untuk perluasan dakwah islam yang waktu itu memerlukan banyak dukungan dari suku-suku bangsa Arab yang suka berperang satu dengan lainnya.

Kalau kita komparasikan praktek poligami yang dipraktekkan Nabi dengan tokoh agama yang ada di sekitar kita sekarang, kita akan segera melihat kesenjangan. Para agamawan itu biasanya berpoligami hanya atas dasar mecari kesenangan (kepuasan?). Mereka menikahi anak-anak gadis yang masih muda dan cantik, menempatkan mereka jauh dari rumah istri tuanya dan mengunjungi mereka hanya apabila mereka sedang suci (dari haidl). Meskipun demikian, mereka selalu berkoar-koar bahwa dengan itu mereka telah mempraktikkan islam secara benar, mengikuti sunnah Rasul dan manjalankan syariat secara kaffah.

Saya tidak menyangkal bahwa poligami diperbolehkan secara agama. Saya juga tidak menyangkal bahwa tidak semua mereka yang berpoligami itu ‘sebejat’ seperti yang saya sebutkan di atas. Memang ada di antara mereka yang berpoligami dengan niat tulus menolong istri mudanya dari kesia-siaan. Ada juga mereka yang berpoliami atas permintaan istrinya sendiri karna si istri tidak bisa memberikan keturunan. Menurut saya poligami adalah juga solusi dalam keadaan darurat seperti saat ayat poligami itu pertama diturunkan. Saya adalah orang islam yang percaya bahwa tidak ada kesalahan sedikitpun dalam al-Qur’an. Qur’an adalah standar kebenaran bagi saya dan bukan para penafsirnya. Apalagi hanya penafsir Qur’an (agamawan) yang sekarang ‘disembah-sembah’ masyarakat bukan karna keilmuannya melainkan hanya ‘numpang wibawa’ karena kakek-kakeknya dulu pernah banyak memberi jasa.

(Agama) islam bukan punya segelintir orang. Dia akan selalu ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dia tidak hanya ada di tumpukan teks-teks suci tapi juga ada di akal dan hati nurani. Kebenaran islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal dan hati nurani. Barang siapa berbicara lantang telah mempraktikkan ajaran Islam tapi menginjak nilai-nilai kemanusiaan dan bertentangan dengan nurani, bagi saya dia tidak jauh beda dengan Dajjal sang pembohong. Wallahu a’lam bi al-showab!



Tajamu’ Khomis, New Cairo

20 April 2008

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 6:32 AM   2 comments
Saturday, April 5, 2008
Kiri-Islam; Proyek Yang Gagal?

Meskipun kemunculan proyek kiri-Islam telah lama diperkenalkan dalam berbagai wujud dan perannya tapi usahanya selama lebih dari 40 tahun semenjak dibentuknya bukan tidak mengalami rintangan. Mulai dari pertentangan partai politik keagamaan dan partai sekuler, konservatifisme, peran negara dan institusi agamanya, pemikiran ‘rumor’ disebabkan kepalsuan peran media hingga sikap taklid dalam masyarakat yang membuat mereka kurang berpikir kritis telah membuat masyarakat menilai proyek kiri- Islam sebagai;

1. Di dalam Islam tidak ada kiri dan kanan. Islam adalah satu dalam esensi dan aqidah: iman pada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, hari akhir dan ketetapan baik-buruk-Nya. Ibadah tidak pernah berubah dalam rentang masa. Kesaksian ‘tiada Tuhan selain Allah’ wajib diucapkan oleh lisan semua muslim tanpa melihat di mana tempat dan kapan masanya. Secara teori hal ini benar adanya. Tapi perbedaan interpretasi dan pengalaman hidup umat muslim, khususnya dalam segi adat dan interaksi sosial (muamalah) mengindikasikan bahwa kiri-Islam telah menjadi satu kekuatan sosial dalam masyarakat yang tidak terbantahkan. Para fakir miskin, orang terlantar, kelas rendah untuk menandingi kaum borjuis, pegawai dan kaum buruh, pemberian bantuan makanan dan banyaknya kios-kios pakaian islami semakin menguatkan indikasi bahwa di setiap kehidupan sosial masyarakat ada ‘kanan’- ‘kiri’, Kaya-miskin serta kelas tinggi dan rendah. Kiri-islam merupakan rangkaian realita sosial, politik dan sejarah dalam islam di setiap kurun sejarah tertentu dan dalam bangsa tertentu. Seperti adanya perdebatan antara mazdhab fikih yang empat, kecenderungan filsafat dan ilmu kalam, serta beragamnya tarekat-tarekat sufi, begitu juga adanya interpretasi keagamaan selalu menuntut adanya perubahan sesuai kebutuhan manusia dan tingkat sosialnya sesuai dengan perkembangan masa dan tempat sebagaimana Syafii yang merevisi pendapatnya antara Iraq dan Mesir.

2. Kiri-Islam menuntut penyatuan antara beberapa ideologi tapi kadang-kadang menuntut penggabungan antara ideologi yang bahkan saling berseberangan. Karenanya kiri-Islam adalah proyek yang ‘impossible’ sebagaimana ‘es goreng’ (al-tsalj al-Maqly). Islam menolak dikotomi kanan dan kiri; kiri adalah sekularisme anti agama sedangkan kanan adalah agama anti sekularisme. Padahal sejatinya pemahaman antara dua hal itu tidak bertentangan sama sekali sebagaimana terma lama dan baru, masa lalu dan esok, turats dan kontemporer, cabang dan asal, akhirat dan dunia. Semua karakteristik kiri-Islam menutut untuk dipraktekan di masa kini. Kiri-Islam adalah islam tercerahkan karna masa kini yang menuntut rasionalisme dan pencerahan sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh berberapa pemikir Arab semisal Muhammad Abduh, Mustofa Abd al-Roziq dan Toha Husen. Ia adalah islam liberal sebagaimana masa kini menuntut kebebasan seperti yang diperjuangkan Tahtowi, al-Aqqad dan Syarqawi. Ia adalah islam sosial karna masa kini yang menuntut keadilan sosial dan persamaan seperti yang diperjuangkankan oleh Mustofa Syiba’i di Syiria. Ia adalah islam-bangsa sebagaimana halnya Munir Syafiq, M. Kholfallah dan M. Imarah yang mencoba menyatukan kembali umat yang porak-poranda setelah bubarnya kekhilafahan Turki pada tahun 1923. Ia adalah islam humanis seperti yang diperjuangkan al-Aqqad untuk membela hak-hak asasi manusia. Ia adalah islam progresif seperti yang dipraktekkan di Tunisia untuk menyatukan bangsa Arab yang terbelah menjadi beberapa negara yang berbeda. Ia adalah islam natural; dimulai dari alam dan manusia untuk mengimbangi hegemoni ‘teks’ dan ‘huruf’ seperti proyek Abu Majid dan Salim al-Awa. Ia adalah islam-negara seperti proyek Thoriq Basyari untuk mengimbangi menguatnya ‘identitas golongan’ dan berangsur menghilangnya nasionalisme. Ia adalah islam keummatan seperti Adil Husen melawan ketidakadilan dalam pembagian letak terotorial kenegaraan dan kekayaan alam. Ia adalah

Islam sekuler seperti partai al-Wasath mencoba melawan hegemoni agama yang mengkroposi nilai-nilai kebebasan, akal, keadilan sosial dan hak asasi manusia sedangkan semua itu adalah nilai dasar syariat islam. Ia adalah islam ‘pergerakan-tercerahkan’ untuk mengimbangi nalar keagamaan yang terpaku pada doktrin dogmatis yang masuk dari telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri.

3. Kiri-Islam berorientasi materialis-komunis. Ia abai pada hal-hal yang bersifat metafisika semisal hidup setelah mati atau yang lebih kita kenal dengan hari kebangkitan. Sejatinya penggambaran islam jenis ini adalah ‘penyakit’ sejak masa kekaisaran Ustmani; mementingkan akhirat di atas dunia dan jiwa melebihi badan. Sedangkan hal itu menjadi sasaran inti pergerakan islam modern. Asas utama turats islam adalah mementingkan alam. Bahkan Ilmu kalam sendiri dimulai dari alam untuk membuktikan adanya Tuhan. Para filosof Muslim lebih dulu berbicara tentang ilmu thobi’iyyah sebelum membahas tentang ilahiyyah. Sebagian para sufi bahkan berpegangan pada prinsip kesatuan wujud (wihdat al-wujud); penggabungan antara Yang Maha Benar dan penciptaan, juga ilmu ushul fiqh selalu berpatokan pada illat dalam hukum untuk menganalogikannya pada kebaruan realitasnya.

4. Kiri-Islam adalah produk Barat yang membebek pada ‘teologi pembebasan’ yang ada dalam tradisi Kristen. Padahal sejatinya, kiri islam adalah pembaruan dan pengembangan dari gerakan ishlah yang diusung Afgani dan M. Iqbal agar lebih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan memberikan kontribusi lebih untuk kemajuan umat. Beberapa agama seperti Kristen, Budha dan hindu telah lebih dulu menggunakan teologi pembebasan sebagai tonggak pergerakannya untuk mendapatkan kebebasan, keadilan, kemerdekaan dan kemajuan dimulai dari tradisi agamanya. Sedangkan kita tetap terpecah belah di bumi Palestina, Afganistan, Irak, Chechnya dan Kashmir. Kita sebenarnya tidak punya apa-apa tapi tetap saja selalu merasa dalam kebesaran. Semua penggambaran itu menyadarkan kita bahwa selama ini kita (al-Ana) hanya mengambil lebih sedikit dari apa yang sepatutnya kita dapat dan memberikan pada Barat (al-Akhar) lebih banyak daripada yang seharusnya mereka dapat. Seakan kita diharuskan menisbatkan semua bentuk kemajuan dan kreasi pada sumber awalnya yaitu Barat tapi di saat yang sama kita dipaksa untuk selalu ikhlas pada status kita sebagai ‘siswa abadi’. Sedangkan sejarah pernah mencatat bahwa di masa lalu Islam pernah mencetak kegemilangannya dimulai dari dalam dan muslim tidak pernah merasa khawatir untuk berinterkasi dengan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti Yunani dan Romawi di Barat, Persia dan India di Timur, dan sekarang dengan Eropa di selatan serta Afrika di Utara

5. Kiri-Islam adalah pembauran antara agama dan politik yang bertujuan membentuk pemerintahan. Ia semata-mata hanyalah pembagian peran bagi pergerakan Islam untuk mencapai tampuk kekuasaan atau hanyalah bentuk baru dari gerakan konservatifisme yang juga tidak akan menolak pemisahan agama dan politik.

Sedangkan realitanya islam –dalam tataran teori seperti sikap Barat menghadapi pertikaian gereja dan negara- selalu mencoba menerjemahkan idealisme, teori dan pemikirannya ke dalam praktek dan wujud kerja nyata. Tujuannya adalah kemajuan dan perubahan sosial tanpa harus mengorbankan idealisme yang lebih dulu ada sehingga islam bisa menjadi tahap ke tiga (lahdlah tsalisah) dalam tahap-tahap perkebangan hubungan politik dan agama. Dalam Islam tidak akan terjadi penggugatan dari masa kini kepada masa lalu seperti yang telah terjadi di Barat ; dalam tahap perkembangan pertama (lahdlah ula) ketika politik menghegemoni agama seperti dalam tradisi agama Yahudi atau tahap kedua, ketika politik dipisahkan sama sekali dari agama seperti tradisi agama Kristen. Kiri-Islam selalu berkomitmen menolak tatanan politik yang berjubah emas di luar tetapi bobrok di dalam. Ia juga akan menolak institusi agama yang fatwa dan tokohnya mengintervensi negara dalam pengambilan kebijakan hubungan luar negeri dan system perekonomiannya. Karna dalam islam tidak pernah dikenal rijal al-Din ataupun kekuasaan agama (sulthah al-Diniyyah). Yang ada hanyalah kekuasaan ilmu pengetahuan. Kiri islam mencoba membuang opini bublik bahwa sekularisme selamanya anti-agama sekaligus mengurangi penolakan gerakan islam konservatif pada ideologi sekularisme, sosialisme, liberalisme, marxisme dan ‘islam tercerahkan’ seperti yang ada di Turki dan Malaysia. Ia juga menolak kemunafikan peran media dan penggunaan agama untuk melegitimasi kebenaran satu partai politik.

6. Kiri-Islam ditolak masyarakat karna bertentangan dengan tradisi mereka. Ia laksana sebuah ikrar yang semakin menguatkan pertentangan antara ‘kanan’, ‘kiri’ dan ‘negara’. Menurut perspektif kaum kanan ia adalah komunisme yang anti agama sedangkan dalam institusi kenegaraaan, kaum kiri-Islam bahkan dianggap sebagai ‘persaudaraan komunis’ seperti yang dituduhkan oleh Syah Reza Pahlevi sebelum meletusnya revolusi islam Iran. Keberadaan Kiri islam tidak menggenapi apa-apa selain menjadi minoritas yang terbuang di antara menguatnya kehendak mayoritas.

Sedang dalam kenyataannya, interaksi kiri-Islam secara langsung dalam pelbagai problematika umat menandakan kemampuannya untuk mengekspresikan kekuatannya yang terpendam untuk merukunkan antara dua arus pemikiran salafi dan kaum sekularis dengan tujuan menjaga dua syariat di saat yang sama; Islam dan alam, agama dan revolusi. Kiri islam tidak bertujuan mengambil alih kekuasaan. Ia menfokuskan perannya untuk menjaga kesatuan umat dalam perjalanan sejarah. Sesunguhnya Allah akan mengutus dalam tiap masa seratus tahun orang yang akan memperbaharui agama.

Penulis : Dr. Hasan Hanafi. Diterjemahkan oleh Syaifullah Rizal Ahmad dari harian al- Ittihad, Uni Emirat Arab dan alarabiya.net (15 Maret 2008)

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 3:54 PM   0 comments
Thursday, April 3, 2008
Membuka (Kembali) Pintu Ijtihad

‘’ ketahuilah wahai kawan. Jika engkau ingin mengetahui kebenaran melalui seorang agamawan tanpa membuka mata, maka usahamu ini akan sia-sia. Karna seorang agamawan itu(hanya) seumpama matahari yang memancarkan sinar kemudian dengan sinar itu kau mampu melihat. Jika matamu buta, tentu tidak bergunalah sinar itu. Maka barang siapa yang lekang pada taklid maka dia berarti telah rusak total’’

( Abu Hamid al-Ghozali dalam Mi’roj as-Salikin)



Salah satu karakteristik unik islam adalah sifat ajarannya yang syumuliyyah. Yakni islam sebagai agama tidak hanya menekankan sisi penting kehidupan akhirat saja tetapi menganjurkan pemeluknya untuk tidak melupakan kehidupan dunia. Islam tidak hanya mengajarkan doktrin aqidah tetapi juga syariah pun juga peradaban.


Dalam rentang sejarahnya umat islam tidak pernah berselisih bahwa ushul aqidah itu adalah iman pada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul dan pada hari pembalasan. Dan rukun islam yang berisi: Syahadat (laa ilaha illallah Muhammad rasulullah), menegakkan sholat, puasa di bulan Ramadlan, naik haji bila mampu telah disepakati umat islam tanpa memandang perbedaan masa dan tempat. Dalam hal ini umat islam dipuji al Qur’an sebagai ummat yang satu (ummatan wahidah).

Adapaun mengenai syariah yang berkaitan dengan masalah keduniawian (hal ini sering berkaitan dengan fikih) tentu saja umat islam tidak bisa disebut satu. Hal ini disebabkan karna syariah terikat dengan kondisi (dluruf, sosio-kultural) yang melingkupi letak geogafis di mana umat islam itu berada.

(Syariah) islam bukanlah benda baku yang kedap pada perubahan dan modifikasi. Syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran serta produk pengalaman manusia yang mempunyai konteksnya tersendiri.

Islam adalah agama yang hidup bersama manusia. Jika manusia adalah makhluk yang selalu berkembang secara terus menerus mengikuti perubahan masa, maka konsekwensi logisnya adalah islam itu sendiri akan juga berkembang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana dia dianut.

Gambaran singkat di atas hanya ingin menyadarkan kita bahwa tafsir keagamaan (baca:fikih) akan berbeda bila difahami satu generasi dan generasi lainnya. Fikih adalah salah satu tafsir terhadap teks keagamaan yang rentan terhadap perubahan karna ia terikat dengan perubahan kondisi, tempat maupun masa di mana ia ditafsirkan. Dan di sisi inilah pentingnya terobosan inofatif-teologis (ijtihad) yang dilakukan para mujtahid untuk merespon problema masyarakat serta membumikan ajaran-ajaran islam.

Ijtihad punya peranan sentral untuk menangkap pesan ajaran islam. Keberadaannya sangat urgen di setiap masa sebagai ‘anti virus’ terhadap penyakit yang bernama taklid . Seorang filosof dan pemikir islam modern, Mohammad iqbal menggambarkan urgensi ijtihad ini dengan mengatakan ‘ ijtihad adalah intisari pergerakan islam’. Dengan kata lain, islam tanpa ijtihad adalah stagnan, beku dan mandul. Seperti badan tanpa jiwa.

Ijtihad tidak hanya terbatas pada permasalahan fikih an sih, tetapi menyangkut permasalahan hidup secara keseluruhan. Dalam setiap masa umat mempunyai problematika tersendiri dan juga punya solusi tersendiri untuk problematika tersebut. Banyaknya literatur tentang fikih serta pendapat yang beraneka ragam di dalamnya memberi isyarat pada kita bahwa setiap zaman punya mujtahidnya sendiri. Berbagai produk hukum fikih tidak terbentuk begitu saja secara bebas ‘ruang dan waktu’. Madzhab-madzhab fikih yang kita kenal sekarang itu tidak lebih hanyalah produk intelektual para mujtahid untuk merespon problem-problem sosial masyarakat yang terjadi saat madzhab itu terbentuk, dengan didukung pula oleh kekuasaan (Negara) yang seideologi dengan mereka. Oleh karna itu, taklid pada satu pendapat madzhab dan cenderung menyalahkan pendapat madzhab lainnya tentu saja satu tindakan yang kurang bijaksana. Apa lagi taklid itu berada dalam tataran pengkultusan satu imam madzhab dan pendapatnya.

Sejatinya berijtihad dan penggunaan terma ijtihad telah ada di masa generasi awal agama islam, bahkan di zaman hidupya Nabi. Satu hadits menceritakan pada kita bahwa menggunakan rasio untuk menentukan satu hukum yang tidak terdapat nashnya yang qath’i tidaklah dilarang. Ketika Nabi bermaksud mengutus Muad bin Jabal ke daerah Yaman, Nabi bertanya padanya, ‘’ Bagaimana cara kamu menetapkan hukum nanti?’’. Muad menjawab, ’’ Akan ku tetapkan sesuai dengan kitabullah (Qur’an), ‘’kalau tidak kau temukan?’’, ‘’ Maka dengan sunnah Rasul-Nya.’’, ‘’ Kalau tidak kau temukan? ‘’, ‘’ Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’.

Dengan jawaban itu Rasul tampaknya sangat merestui metode Muad ini. Dengan nada puas beliau berkata, ‘’ Segala puji bagi Allah yang telah menyesuaikan utusan (Muad) pada apa yang direstui Allah dan RasulNya’’.

Dari hadits di atas, jelas tampak bagi kita bawa ijtihad sudah dimulai di masa Rasul bahkan di saat al-Qur’an belum sempurna diturunkan. Sabda Nabi ‘ jika tidak kau temukan’ (fa in lam tajid) jelas memberi isyarat bahwa tidak semua permasalahan ummat ini ada solusinya di dalam Qur’an dan sunnah. Teks-teks agama itu begitu terbatas sedangkan permasalahan tidak terbatas. Maka di sinilah pentingnya ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menentukan satu hukum untuk menyelaraskan ajaran islam dengan setiap tempat dan masa dengan berbasiskan kemaslahatan dan rahmat.

Islam tidak pernah mengajajarkan pemeluknya untuk tenggelam dalam fanatisme berlebihan dalam mengambil satu pendapat. Semua orang boleh diambil atau dibuang pendapatnya kecuali Sang pembawa risalah (Muhammad saw). Islam mengajarkan untuk selalu mencari kebenaran sekuat kemampuan manusia dan hanya Allah sajalah yang mengetahui hakikat kebenaran itu.


Kita umat islam percaya bahwa belum ada pendapat keagamaan yang dianggap final, mutlak dan absolut. Akan selalu ada terobosan-terobosan baru yang akan dibawa oleh para mujaddid dan mujtahid, yakni para mujtahid yang berani menggugat untuk mendobrak kembali pintu ijtihad yang (katanya sudah ) tertutup. Sang Nabi agung telah membuka pintu ijtihad dengan selebar-lebarnya 14 abad silam dan tidak seorangpun yang punya otoritas untuk menutupnya. Hanya dengan ijtihad islam akan mampu menjadi agama yang dinamis dan responsif terhadap permasalahan dan tantangan jaman di semua tempat dan masa di mana ia dianut. Sesuai dengan slogan syariat islam sholih likulli zaman wa kulli makan.


Tajamu’ Khomis, New Cairo


posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:58 AM   0 comments
Dari Pengkultusan Menuju Kritik Rasional


Tidak berlebihan kiranya bila saya menyebut masyarakat Madura adalah masyarakat yang kiyai-oriented. Sebuah komunitas masyarakat yang mengorientasikan semua pandangannya kepada tokoh agamawan yang biasa mereka sebut kiyai. Para kiyai dalam kehidupan masyarakat Madura tidak hanya berkedudukan sebagai spiritual leader tetapi lebih jauh dari itu, mereka juga berkedudukan sebagai political leader dan – pada tataran masyarakat awam-fanatik-- para kiyai bahkan diposisikan sebagai legitimator dalam semua permasalahan sosial masyarakat. Disebut legitimator dikarnakan hampir dalam seluruh permasalahan yang dihadapai masyarakat, para kiyai adalah sebagai 'desicion maker' dan suara tunggal pengambil kebijakan. Apa yang mereka katakan baik maka masyarakat akan juga akan sendiko dawuh. Begitu juga sebaliknya bila sang kiyai mengatakan buruk maka tidak akan ada satupun suara yang berani menentangnya.


Tampaknya, masyarakat memandang bahwa semua permaslahan dunia maupun agama, para agamawanlah yang berhak memutuskannya. Ini bisa dilihat dari ketergantungan mereka untuk iftita' (minta fatwa) kepada para tokoh agamawan dalam urusan keluarga, permasalahan dengan tetangga sampai pada partai mana yang akan mereka coblos dalam PEMILU, masyarakat menyerahkannya pada keputusan sang kiyai.


Dalam alam bawah sadar masyarakat awam sepertinya telah mengendap satu keyakinan bahwa tokoh agamawan mengetahui sesuatu yang gaib dikarnakan mereka adalah ahli ibadah, wali dan dekat dengan Tuhan. Keyakinan semacam ini terus dipelihara masyarakat secara turun temurun. Berangkat dari keyakinan semacam ini juga budaya pengkultusan terus langgeng dikekalkan.


Pengkultusan yang saya maksud di sini adalah penghormatan yang berlebihan kepada satu tokoh agamawan sehingga mereka lupa bahwa para kiyai itu adalah juga manusia biasa yang tidak akan bisa bebas dari salah dan lupa. Pengkultusan semacam itulah yang menurut saya telah mematikan daya nalar kritis masyarakat untuk sekedar mengeritik apalagi menyalahkan sang tokoh apabila ada satu perbuatan yang dianggap ganjil atau menyalahi aturan.

Sekedar menyebutkan contoh. Hampir seluruh tokoh agamawan yang menjadi pemimpin di lembaga pendidikan tradisional selalu menyerukan pada masyarakat untuk selalu hidup zuhud dan qona'ah. Menjauhi dunia itu lebih baik dari pada berlomba-lomba menimbunnya karna dunia adalah pangkal segala bencana, kata mereka. Untuk mendukung pendapatnya ini maka para tokoh agamwan itu merujuk pada kitab-kitab turats yang menerangkan fadilah zuhud(keutamaan hidup zuhud) dan menjauhi dunia seperti kitab ihya' ulumuddin karangan al Ghozali. Akan tetapi di saat yang sama para tokoh agamawan itu selalu menjalin hubungan dengan pengusaha kaya, bisniss man, atau bahkan politikus. Bila kita perhatikan gaya hidup para pemuka agama tersebut, kita akan temukan kenyataannya sangat berbalik dengan apa yang mereka ajarkan dalam pengajiannya. Apabila ada sindiran dari masyarakat tentang hal ini, tokoh agamawan itu biasanya akan membela diri dengan mengatakan bahwa agama tidak melarang ummatnya untuk menjadi kaya. Sebagai penguasa ajaran, pemuka agama itu tidak akan kesulitan mencari argumentasi atau legitimasi atas perbuatannya misalnya dengan mengatakan kekayaan di tangan orang sholeh adalah rahmat dan kekayaan di tangan orang jahat adalah bencana.
Dan jelas, yang mereka maksud dengan orang sholeh di sini adalah agamawan itu sendiri.

Contoh kedua adalah mereka selau menganjurkan para wali santri agar memerhatikan anaknya dalam menjaga batas pergaulan tapi di saat itu pula para agamawan itu lupa bahwa anak-anak mereka berkeliaran di arena-arena balap motor, di konser-konser musik bahkan di diskotik. Apologi klasik yang sering dilontarkan dalam masalah ini adalah dengan mengatakan '' walaupun anak seorang kiyai nakal pada saat mudanya, tapi tobat mereka adalah taubatan nashuha. Nanti kalau sudah besar, mereka akan kejatuhan ilmu dari ayahnya dan mereka akan menjadi orang alim. Berbeda bila yang nakal itu bukan anaknya kiyai ''. Kalau kita perhatikan, apologi semacam ini terkesan sangat menggelikan karna jauh dari akal sehat dan abai akan hukum kausalitas (sababiyah).

Contoh ketiga adalah kebiasaan para pemuka agama itu berpoligami (atau multigami).sebuah keluarga yang anaknya diminati sang kiyai akan sangat bersyukur karna mereka – katanya- akan mendapatkan barokah, meskipun mereka tahu anaknya akan dijadikan istri ke-3 atau bahkan ke-4. Surat an Nisa ayat 2 dan 3 akan segera dibacakan oleh sang kiyai kepada mereka yang menolak diperbolehkannya beristri lebih dari satu. Seakan-akan poligami itu adalah dianjurkan oleh agama dan bukan hanya sekedar keringanan( rukhshoh). Para pemuka agama itu bukannya tidak tahu bahwa syarat berpoligami itu adalah harus bisa adil tetapi dalam banyak kasus keadilan itu hanyalah utopia (angan-angan). Apabila mereka sudah tidak berminat lagi, mereka biasanya menceraikan istrinya itu dan jadilah keluarga si istri menjadi objek gunjingan orang-orang sebagai orang yang membuat sang kiyai murka seakan-akan keluarga yang telah membuat sang kiyai murka adalah keluarga yang terlaknat dan tidak berhak mendapatkan bahagia.

Satu hal yang harus dirasa aneh adalah bahwa tidak ada satupun orang yang berani mengeritik keadaan ini. Alih-alih menyalahkan, menggunjingkan salah satu tokoh agamawan dalam masyarakat Madura dianggap sesuatu yang sangat tabu. Masyarakat khawatir tidak akan mendapatkan barokah dari ilmu yang mereka pelajari bila mengeritik gurunya. Masyarakat khawatir akan mendapatkan bala' dan dengan begitu mereka tidak akan selamat dunia-akhirat.

Memerhatikan sikap keberagamaan dan sosial masyarakat Madura memang terasa gelap sekali apalagi bila kita menengoknya dari luar. Tetapi ini tidak berarti kita harus sit and watch saja terhadap apa yang sudah ada. Kemapanan tidak berarti kebaikan. Kemunduran, kejumudan dan ketertinggalan Madura harus segera diarahkan pada kemajuan dan perbaikan. Masyarakat harus segera disadarkan bahwa apa yang kita hadapi sekarang ini bukanlah takdir yang memang sudah terberikan dariNya tetapi lebih disebabkan karna ada yang salah tentang cara kita memahami agama dan menghormati tokohnya.

Menghormati tokoh agama tidak berarti kita harus mengkultuskannya. Menghormati bukan berarti tidak boleh mengeritik. Kritik bahkan sangat berguna agar tidak ada satupun orang yang merasa paling benar sendiri. Tidak ada satupun orang yang kedap kritik. Kritik tidak akan menjatuhkan wibawa, kritik juga tidaklah berdosa. Jangankan pemuka agama, Nabi Muhammadpun selalu dikritik oleh sahabat-sahabatnya apa bila ijtihadnya dirasakan salah atau tidak adil. Semua manusia diciptakan sama di hadapanNya. Semua punya potensi yang sama untuk berbuat baik atau salah.

Dari sini kita bisa ketahui bahwa solusi untuk menghilangkan pikiran konservatif ala masyarakat awam Madura ini adalah dengan pikiran yang realistis dan rasional. Hanya dengan berpikir rasional segalanya akan terlihat clear. Jangan pernah ada perasaan takut untuk menggugat dan mengeriktik selama itu beralasan. Konsep barokah (broka) dan bala' (belet) harus kita tafsirkan ulang dengan pemahaman yang betul-betul kritis dan sesuai dengan konteks kekinian masyarakat. Tokoh agamawan (kiyai) bukanlah pemegang otoritas kebenaran. Mereka juga bukan wakil Tuhan yang berhak memberi manfaat atau mudlarat (bahaya) pada orang lain. Mereka harus ditempatkan lagi pada kedudukannya yang proporsional dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka tak lebih dari hanya sekedar manusia biasa. Bedanya, mereka adalah spiritual leader (pemimpin spiritual) bagi masyarakat di sekelilingnya. Tak lebih!



Tajamu’ Khomis, New Cairo

29 Juli 2007





posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:43 AM   1 comments
Wednesday, April 2, 2008
Iman Yang ' Cengeng '

Dua bulan yang lalu, saya terpaksa pindah rumah karna rumah yang saya sewa (Tajammu’ Khomis) akan diambil pemiliknya. Sebenarnya kejadian seperti ini biasa terjadi di sini. Tapi karna saat itu mendekati masa ujian term 1 (musim dingin), sayapun merasa panik juga mengingat muqorror (diktat kuliah) belum terbaca semuanya dan persiapan ujian bisa dibilang masih nol. Di saat ‘kritis’ seperti itu, secara kebetulan saya bertemu seorang teman yang tinggal agak jauh dari daerah tempat saya tinggal (daerah H-10 Nasr City). Setelah bertegur sapa seperlunya lalu dia menceritakan pada saya bahwa rumah yang dia sewa sekarang membutuhkan satu orang lagi agar genap 6 orang (rumahnya 3 kamar dan tiap kamar didisi 2 orang).

Dengan sangat senang saya menerima tawarannya untuk tinggal di rumah itu setelah dia bermusyawarah dengan anggota rumah yang lain.

Sehari setelah pertemuan itu, dia menelpon saya dan bilang bahwa semua orang rumahnya setuju jika saya tinggal bersama mereka. Lalu dia memberi tahu bahwa sebaiknya saya segera pindahkan barang-barang agar segera bisa belajar untuk persiapan ujian, hari itu juga saya pindah barang dan resmi menjadi anggata rumah.

Akan tetapi entah mengapa, sehari setelah itu teman yang mula-mula menawari saya untuk tinggal di rumah nya itu secara tiba-tiba mengajak saya ngobrol ‘empat mata’ seraya meminta saya tidak kaget atau marah.

Setelah basa-basi seperlunya dan minta maaf sebelumnya, teman saya itu langsung ke pokok masalahnya. Dia bilang bahwa saya diminta keluar dari keanggotaan rumah itu hari itu juga dan ini adalah kesepakatan bersama. Demi mendengar itu, kontan saja saya kaget. Setelah saya tanya kenapa, dia hanya bilang, ada anggota rumah yang tidak mau saya tinggal dengan mereka tanpa memberi tahu alasannya. Karna terdorong rasa heran, saya mendesak kenapa teman itu tidak mau menerima saya, diapun kembali mengatakan jawaban yang sama: saya juga tidak tahu! Bahkan teman yang menolak saya itu katanya akan keluar dari keanggotaan rumah itu kalau saya memaksa masuk.

Merasa seperti dipermainkan, dengan menahan marah campur heran saya bilang secara terus terang bahwa cara mereka ini tidak dewasa sama sekali. Kenapa saya disuruh pindah barang lalu disuruh keluar lagi? Kenapa teman yang tidak setuju itu tidak mau memberikan alasan logis atau bicara langsung pada saya secara baik-baik? Kalaupun saya punya salah, saya bersedia minta maaf asal ada dialog dan bukan dengan cara anak-anak seperti itu.

Ternyata pernyataan saya itu membuat teman itu berterus terang. Dengan nada yang tetap ‘tidak enak’, dia menceritakan alasan temannya menolak saya. Dengan panjang lebar dia ceritakan kepribadian tamannya itu mulai dari kebiasaanya membaca Qur’an tiap hari, sholat berjamaah di masjid, rapi dan bersih dalam segala hal, benci orang merokok hingga sikap dan posisi dia dalam bergaul dengan orang-orang yang tidak sefikrah dan sepemikiran . Cerita panjang lebar itu berujung pada satu kesimpulan dalam diri saya bahwa dia tidak mau serumah dengan orang yang berpikiran terlalu bebas dan terbuka ( liberal?)

Setelah pembicaraan itu, teman itu meminta maaf dan minta agar saya tidak berubah sikap padanya setelah kejadian ‘memalukan’ ini. Dengan perasaan kecewa saya akhirnya menganggkat barang-barang yang terlanjur dibawa kesana hari itu juga. Layaknya orang yang diusir paksa, saya mengangkat koper-koper besar itu dengan susah payah menuruni 4 tangga. Sebelum turun tangga, saya sempat berujar pada teman saya itu dengan harapan dia akan cerita pada teman yang tidak menyukai saya itu. pemikiran dan keyakinan biarlah menjadi urusan saya dengan Allah tapi dalam muamalah sesama manusia kita ditutuntu adil tanpa membedakan siapa dan apa.

****

Kisah saya itu hanyalah sekelumit dari berjuta kejadian yang ada di sekitar kita. Di tempat saya kuliah sekarang (al-Azhar Cairo), meskipun semua bentuk pemikiran islam berkembang, diterima dan diapresiasi, masih juga ada sekelompok orang yang merasa berbeda dengan orang di sekitarnya. Mereka merasa lebih baik, lebih bertakwa dan merasa lebih beriman. Oleh karna itu, mereka merasa perlu memberikan tameng yang kuat untuk membatasi mereka dengan orang yang mereka anggap ‘ the other’. Mereka membedakan antara yang benar (minna) dan yang yang mereka anggap salah (minkum).

Orang-orang seperti itulah yang saya istilahkan sebagai orang yang mempunyai iman yang ‘cengeng’; Iman yang terlalu peka, sensitif, anti- sentuhan, mudah pecah, hancur dan hilang. Selayaknya anak kecil, iman mereka mudah ‘menangis’ sehingga mereka perlu memilah-milih teman bermain. Oleh karna itu, mereka akan spontan menolak teman yang mereka anggap nakal dan membahayakan.

Orang dengan iman jenis ini biasanya sangat protektif pun juga paling sulit diajak dialog. Karna mereka selalu menganggap orang selain firqahnya sebagai orang lain (other) atau juga sebagai musuh (enemy).

Hal yang saya alami dalam pergaulan mahasiswa Mesir (Masisir)seperti di atas, dalam skala yang lebih besar juga sedang terjadi dalam pergaulan masyarakat di Indonesia. Tak henti-hentinya kita membaca berita tentang para fundamentalis-islam (kalau istilah ini diterima) di Indonesia melakukan pembelaan ketika mereka merasa iman mereka terancam dengan cara yang baik tapi kadang dengan cara yang kurang baik. Bahkan lebih jauh, mereka merasa perlu membentengi iman setiap individu masyarakat agar tidak terpengaruh pemikiran kelompok yang mereka anggap the other. Mereka menolak membalas salam dari orang tidak seagama, mengharamkan mengucapkan selamat natal, mengharamkan pembacaan doa satu forum dengan orang yang tak seiman dan lain semisalnya yang menunjukkan lemahnya iman mereka. Mereka tidak segan-segan melakukan apa saja yang dianggap perlu untuk menunjukkan bahwa hanya iman merekalah yang paling benar.

Bahkan ada di antara mereka satu kelompok yang sangan berifat keras terhadap orang yang tidak seagama. Dalam pandangan kelompok ini, orang yang tidak beragama Islam tidak berbeda dengan benda najis dan tidak layak untuk hidup. Oleh karna itu mereka merasa perlu meluangkan waktu untuk merakit bom kemudian meledakkannya di tempat umum dengan harapan semakin banyak jumlah orang kafir (non-Islam) yang mereka bunuh maka akan semakin muluslah jalan menuju syurga.

****

Iman yang kuat tidak akan merasa takut pada keragu-raguan. Ia tidak akan terpengaruhi oleh rasa was-was yang berlebihan. Iman adalah keyakinan maha tinggi kepada Dia yang maha tinggi. Hanya Dia swt yang Maha Mengetahui ukuran keimanan dari hambanya. Apabila iman kita adalah iman yang kuat dan tidak ‘cengeng’, kita tidak perlu merasa was-was kepada apa saja dan siapa saja. Kita bebas mengetahui apa saja dan bebas bergaul dengan siapa saja. Kita tidak perlu lagi mengusir teman dari rumah kita hanya karna dia berpikiran terbuka atau liberal. Kita juga tidah perlu merasa berkewajiban membentengi iman orang lain karna iman adalah urusan Tuhan dan hambanya. Kita tidak perlu bersikap sinis terhadap orang yang tidak seagama dengan kita , pun juga kita tidak perlu bertidak bodoh dengan meledakkan bom yang akan membunuh diri dan orang lain. Ingat, Islam mengajarkan kebaikan yang universal; kebaikan yang jauh melampaui sekat agama, bangsa, jenis ras dan keyakinan. Barang siapa bertindak kriminal dengan mengatasnamakan Islam, maka sama halnya telah menghiananti Tuhan dan menginjak nilai kemanusiaan. Karna Allah tidak menurunkan Islam hanya sebagai rahmatan lil muslimin tapi Islam ada untuk menjadi rahmatan lil alamin.

Rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadzaitanâ…..



Tajammu’ Khomis, New Cairo

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:25 PM   1 comments
Rosida dan Martabat Bangsa
Namanya Rosida. Saya baru mengenalnya beberapa bulan lalu. Sebenarnya dia sudah bekerja sebagai TKW di Mesir sekitar 4 tahun yang lalu. Tapi dia baru tahu bahwa di Mesir juga banyak orang Indonesia setelah kenal dengan saya. Secara kebetulan dia melihat wajah orang Asia di saat diajak oleh majikannya menghadiri pesta pernikahan kerabatnya, Rosida langsung mengajaknya kenalan. Dia merasa senang sekali karna merasa tidak sendirian di negeri Firaun. Orang Indonesia yang ternyata masisir (mahasiswa al-Azhar Mesir) dari Aceh itu segera memberikan nomor telpon saya pada Rosida karna dia ingin bertemu orang Madura. Sejak saat itu kami menjadi akrab. Dia sering menelpon saya biarpun hanya sekedar untuk curhat tentang keluarganya di kampung yang sedang panen jagung, tentang kakak perempuannya yang bercerai gara-gara suaminya ‘jahat’ dan sekarang bekerja di Malaysia tapi sekarang sudah sukses dan menikah lagi dengan orang ‘baik-baik’, tentang bekas pacarnya yang sampai sekarang belum menikah karna mau menunggunya pulang, tentang bapaknya yang kawin cerai 6 kali sepeninggal ibunya dan lain-lain.

Rosida sudah malang melintang di dunia per-TKW-an sejak berumur 18 tahun hingga sekarang hampr genap beumur 30 tahun. Sebelum bekerja di Mesir, dia pernah bekerja di negeri ‘syurga’ TKW, Arab Saudi selama 6 tahun. Tapi akhirnya dia kabur dari rumah majikannya karna sering digoda untuk berbuat mesum oleh majikan laki-lakinya dengan iming-iming akan dikasih mobil dengan syarat Rosida tidak menceritakan ketidaksenonohan majikan laki-lakinya itu pada istrinya.

Seperti kebanyakan TKW yang ‘diekspor’ oleh Indonesia, Rosida bisa dibilang tenaga kerja yang nekat. Dia sama sekali tidak punya keterampilan khusus. Pendidikan terakhirnya hanya SD, pengetahuannya tentang ‘alam luar’ minim dan bahasa Indonesianya tidak lancer, pun juga dia sangat lugu dan polos. Saat berbicara dia sering membuat kesalahan yang sangat kentara. Misalnya dia sering mengatakan ‘eslas’ padahal maksudnya ikhlas, ‘eskol’ untuk bilang missed call, sekolah ‘asnawiyyah’ untuk sekolah Tsanawiyyah, dan banyak lagi kesalahan istilah dan pengucapan yang mencerminkan rendah tingkat pengetahuannya. Meskipun begitu, dia punya sifat rendah hati,sopan dan baik hati. Kalau kebetulan saya main ke rumahnya, tidak jarang dia mengeluarkan uang ratusan pound untuk membelikan saya oleh-oleh atau dengan bahasa dia, ‘ tanda rasa senang karna bertemu saudara di negeri orang’.

Adalah kenyataan kalau Indonesia adalah negeri pengekspor TKI/TKW terbesar di muka bumi. Rosida hanyalah satu dari sekian juta tenaga kerja ‘produk khas Indonesia’ itu. Sebenarnya bekerja di negeri orang tanpa keahlian dan keterampilan khusus bukan tidak mendatangkan masalah. Berita tentang TKI/TKW kita yang disiksa majikan, tidak dibayar gaji selama berbulan-bulan sampai ada yang mati (dibunuh?) sudah bukan warta asing di media massa kita. Sebutlah contoh di Malaysia, kasus Nirmala Bonat asal NTT atau Kunarsih yang disiksa majikanya hingga tewas. Di Arab Saudi, dua TKW bernama Tarwiyah (Ngawi) dan Susmiati (Pati) disiksa sampai tewas oleh polisi Saudi karna dituduh melakukan ritual sihir. Dua TKW itu dituduh menyihir karna menyimpan rambut mereka yang rontok saat mereka datang bulan seperti tradisi wanita Indonesia umumnya. (jawapos, 10 Oktober 2007)

Yang lebih menyedihkan lagi yang terjadi di Hong kong, cerita tentang TKW Indonesia yang dipekerjakan layaknya budak tanpa istirahat (sebenarnya kontrak kerja mereka adalah pembantu rumah tangga tapi mereka dipekerjakan di toko sang majikan), ada pula TKW yang sampai melahirkan di depan toilet umum karna cowok yang menghamilinya lari sehingga dia terpaksa hidup ‘numpang’. Dalam keadaan hamil tua dia tidur di taman-taman hingga akhirnya melahirkan tanpa bidan yang membantunya. (Republika, 8 September ’07)

Banyaknya kasus penyiksaan dan pembunuhan para TKW/TKI itu mengindikasikan rendahnya orang lain memandang bangsa kita. Mereka tidak memandang penting negeri kita sebagai negeri besar dan bermartabat. Bangsa-bangsa dunia lebih mengenal kita sebagai bangsa miskin dengan kwalitas SDM dan pendidikan jauh di bawah standard.

Keyataan di atas sepatutnya disadari oleh semua elemen masyrakat pun juga oleh elit birokratnya. Perlakuan yang sudah di luar standard nilai kemanusiaan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Dalam hal ini kita diharuskan bersikap tegas hingga bangsa lain tidak selalu memandang kita sebelah mata.

Hanya ada satu cara untuk mendongkrak posisi bangsa besar ini menjadi lebih bemartabat; memberi perhatian lebih pada tingkat dan mutu pendidikan dengan dibarengi oleh pengembangan perekonomian serta pemerataannya. Dalam hal ini tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran dari negeri jiran, Malaysia. Mereka lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan daripada kita tapi sekarang sudah dapat menikmati kemakmurannya. Pada era 50-an kita mengekspor guru-guru terbaik kita ke sana untuk membantu memajukan pendidikan di negeri itu meskipun sekarang kita malah mengekspor tenaga kerja yang bejibun mengadu nasib di sana. Ini mengindikasikan kita memang tidak serius (tidak becus?) mengisi kemerdekaan.

Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah seharusnya memberi anggaran lebih untuk pendidikan Serta menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk masyarakat. Jika kita bisa meningkatkan keilmuan anak bangsa secara keseluruhan, menghilangkan tuna-ilmu dan tuna-teknologi dari anak negeri ini, menghapus stagnasi dalam upaya memajukan bangsa ini, menghilangkan praktek korupsi pejabat yang menggerogoti jantung bangsa ini, kita tidak akan kehilangan wibawa lagi dalam percaturan politik dunia. Dunia akan memandang penting Indonesia dan bangsa ini akan menjadi lebih bermartabat di depan forum dunia.


Tajamu’ Khomis New Cairo, 22 Maret 2008

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:22 PM   1 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment