Tuesday, December 28, 2010
Tasawuf Pesantren; Pembebas atau Beban?
(Artikel ini sebelumnya dimuat di majalah AFKAR NU Mesir, edisi LV1, Oktober 2010)

Dalam rentang sejarahnya, tasawuf telah mencatat sejarah gemilang di nusantara. Islam masuk ke nusantara di tangan pedagang Timur Tengah dari para wali yang hampir semuanya pemimpin tarekat (mursyid) tasawuf. Seperti yang pernah ditegaskan oleh Martin Van Bruinessen, bahwa islamisasi terjadi di Indonesia terjadi ketika tasawuf menjadi corak pemikiran dominan dalam sejarah islam. Pandangan-pandangan keislaman bercorak tasawuf khas Ibn Arabi dan al-Ghazali sangat berpengaruh kuat pada pengarang-pengarang buku keislaman di Indonesia generasi pertama yang hampir semuanya penganut tarekat.

Penetrasi islam ke nusantara tidak pernah mencatat adanya invansi alih-alih kekerasan. Nusantara yang pada saat itu menjadi basis agama Hindu-Budha dalam periode berikutnya menjadi negara dengan penduduk muslim terbanyak di muka bumi. Hal ini tidak lain disebabkan kegigihan para Sunan (Wali Songo)memperkenalkan islam denga cara pandang tasawuf santun sehingga mudah diterima oleh masyarakat pribumi.

Di samping itu, kepulaun nusantara merupakan daerah yang kaya dengan warisan nilai-nilai spiritual, sebuah tradisi yang secara terbuka mengakui dan menghormati perbedaan. Islam yang dibawa oleh para wali itu adalah islam yang sangat menekankan pada nilai-nilai subtansif tanpa mengabaikan aspek –aspek lahirahnya. Penduduk nusantara masa itu dapat dengan mudah menerima islam layaknya menerima pesan-pesan luhur spriritual yang menjunjung tinggi realitas dan eksistensi keberagamaan yang telah menjadi bagian integral kehidupan mereka.
Dalam masa kolonialisme, pemuka agama -yang biasanya pemimpin pesantren dan penganut tarekat tasawuf- bahkan telah mampu menjadikan tasawuf sebagai pemantik perlawanan menentang penjajahan dan imperalialisme. Pada tahap ini para pemimpin tasawuf (baca:mursyid) tidak hanya menjadikan tasawuf sebagai sarana pelatihan penyucian jiwa (tazkiyat al-Nafs) tetapi juga sebagai gerakan politik dan motor penggerak perubahan sosial. Para mursyid tasawuf faham betul akan sejarah awal munculnya ajaran tasawuf yaitu sebagai respon pada kehidupan para penguasa yang mengabaikan hak-hak rakyat dan gaya hidup mereka yang tidak sesuai lagi dengan ajaran islam.

Selama masa penjajahan itu seorang mursyid tidak hanya berperan sebagai pemandu pendakian tangga-tangga spiritualitas bagi murid-muridnya melainkan juga sebagai seorang pemimpin politik dan juga panglima perang. Mereka mampu menyatukan masyarakat dengan berbagai suku-ras yang berbeda di bawah ikatan tarekat dan membentuknya menjadi satu kekuatan perlawanan yang mematikan. Tercatat pada saat itu beberapa tarekat lokal seperti tarekat Wahidiyah dan Shiddiqiyah (Jawa Timur), Shahadatain (jawa Tengah),maupun cabang dari tarekat sufi international seperti Syattariyah,Khalwatiyah,Sadiliyah dan Nasaqbandiyah bahu membahu melawan kolonialisme.

Tarekat sufi berhasil menjadi penggerak perubahan sosial tidak hanya terjadi di bumi nusantara, di Afrika, tareka tasawuf bahkan menjadi cikal bakal lahirnya satu negara. Perjuangan tarekat Sanusiyah yang dipimpim oleh Syeikh Muhammad Sanusi al-Kabir mampu membentuk negara yang kita kenal sekarang dengan nama Libiya modern. Kerberhasilan itu jugalah yang membawa mursyid ke empat tarekat ini, Syeikh Muhammad Idris, menjadi raja pertamanya.

Masuknya islam ke nusantara dengan pendekatan ajaran tawauf menyisakan corak keberagamaan yang unik, corak keberagamaan yang moderat, toleran dan santun. Corak keberislaman yang jarang ditemukan di tempat selainnya bahkan di tempat islam itu sendiri mula berasal. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri buat pengkaji yang concern dalam kajian ke islaman.

PEMBEBAS ATAU BEBAN?

Seperti penulis sebut di atas, tasawuf di Indonesia berkembang pesat di dunia pesantren. Hampir semua pimpinan pesantren salaf (tradisional) adalah mursyid tasawuf untuk santri-santrinya. Banyak pakar berpendapat bahwa pesantren adalah kelanjutan dari system zawiyah yang dikembangkan kaum sufi di Timur Tengah meski pendapat ini masih diperdebatkan. Oleh karna itu mulai generasi awal islam nusantara sampai saat ini tasawuf menjadi tulang penyangga pesantren dalam rangka membina akhlak para santri sekaligus menjadi pemelihara dan pengembang esensi ajaran tasawuf sebagai subkuluturnya.

Namun dalam perkembagannya dewasa ini, tasawuf pesantren banyak menunjukkan stagnansi bahkan kemunduran. Pesantren tradisional seakan terseok pengimbangi laju cepat perkembangan jaman yang terus menggilas tanpa ampun. Sebagai tulang punggung pesantren, otomatis perkembangan tasawuf juga ikut terhambat.

Setidaknya ada beberapa faktor penyebab mengendurnya peran tasawuf di Indonesia. Pertama, serbuan ideology salafi-wahabi-Ikhwan al-Muslimun ke indonesia. Seperti yang sudah jamak diketahui, selain anti terhadap ajaran filsafat mereka juga anti pada ajaran tasawuf dan praktek-praktek sufisme. Mereka sangat rajin melakukan aksi-aksi desruktif terhadap dua tradisi intelektual dan spiritual islam tersebut. Dengan dukungan dana petrodollar yang melimpah mereka leluasa ‘mengekspor’ pemahamannya ke Indonesia dan ke negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Disebabkan pemahaman impor inilah sering terjadi distorsi dan kekejaman terhadap kearifan budaya-budaya lokal dan kaburnya pesan-pesan luhur islam yang moderat dan santun khas nusantara sebagaimana banyak kita saksikan akhir-akhir ini.

Kedua, krisis suri tauladan terhadap elit-elit pesantren -yang notabene pegiat tasawuf- yang sekarang banyak silau terhadap pragmatisme politik kekuasaan. Para pemimpin pesantren lebih suka menggunakan wibawanya untuk meraup suara dalam pemilu dari pada menjadi pemimpin-pemimpin spiritual. Tak ayal, -meminjam istilah Gusdur- pribadi ‘kiayi-kiayi materi’ pun makin banyak bertebaran. Inilah salah satu sebab masyarakat apatis terhadap dakwah pemimpin-pemimpin agama.
Ketiga, kecenderungan umum dari penganut sufisme yang menjauhkan diri dari hingar bingar kehidupan duniawi. Alih-alih bisa membuat perubahan dalam ruang lingkup sosialnya, mereka malah lebih asyik masyuk berkhalwat dengan berzikir menuju ‘fana’ dan abai pada realitas sosial masyarakat. Pada tataran ini tasawuf hanya dijadikan bentuk eskapisme dari ketidakmampuan diri menghadapi belitan persoalan duniawi.

Keempat, Instrumen kelemahan yang kerap melekat pada menganut sufisme seperti zuhud, tawakal (pasrah), sabar, qana’ah dan lain semisalnya.
Hal itu dipercayai oleh kalangan islam liberalis-progresif sebagai salah satu pemicu kemunduran peradaban islam. Salah satu pemikir islam progresif misalnya mengatakan bahwa sikap zuhud, meninggalkan hiruk pikuk kehidupan dunia tidak ada asasnya sama sekali dalam islam. Dia berargumen al-Qur’an hanya sekali menyebut kata zuhud (QS Yusuf:20) tapi ratusan kali menyebut kata ‘amal’ dalam berbagai variannya. Dengan konsep zuhud seperti ini tasawuf secara tidak langsung didakwa telah memerintahkan pengikutnya ke arah kemunduran dan konservatifisme dan dengan begitu telah mensifati islam dengan kemunduran dan anti-modernisme.

Hal lain yang juga sering jadi acuan kritik dalam tasawuf adalah taklid buta pengikut ajaran tarekat pada mursyid dan tarekatnya. Sebagai pembimbing pendakian spiritual, mursyid tasawuf telah diposisikan sebagai manusia ‘luar biasa’ oleh pengikutnya. Mereka dianggap mempunyai kemampuan lebih untuk mendekati Tuhan dengan cara yang lebih baik dari pada orang kebanyakan. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka bisa ‘berada’ bersama Tuhan dengan cara yang lebih baik dari pada orang lain pada umumnya. Tidak mengherankan jika kita melihat para penganut tareka ‘fana’ berdzikir dengan membayangkan wajah-wajah mursyidnya dengan menempelkannya di semua dinding rumahnya.

Kepercayaan semacam ini tidak jauh beda dengan doktrin syiah fundamentalis yang menganggap bahwa para imam sebagai ‘perbendaharaan’ Tuhan yang bisa membimbing semua orang melihat cahaya ilmu-Nya atau lazimnya doktrin nasrani yang menganggap pendeta-pendeta gereja sebagai wakil Tuhan yang punya otoritas melaknat atau mengampuni dosa seseorang.
Hal semacam itu dianggap oleh kalangan progresif bertentangan dengan spirit rasionalisme islam yang menekankan rasionalitas sebagai syarat mutlak kemajuan. Untuk menghindari fanatisme semacam ini, Ibn Taimiyah sebagai salah satu ulama kritikus tasawuf berpendapat bahwa semua orang harus bias menjadi mursyid bagi dirinya sendiri, hal senada yang juga diamini oleh HAMKA sebagai penggagas tasawuf modern.
***
Ketika mayarakat modern makin banyak yang terjebak ke dalam arus hidup materialisme dan hedonisme, ketika jiwa mereka kering dari nilai-nilai spiritual, perasaan bosan, hampa dan keresahan yang akut sering membuat mereka frustasi, di saat itulah mereka membutuhkan penyejuk serta pelipur. Sudah waktunya lagi tasawuf memainkan perannya. Masyarakat modern membutuhkan tasawuf positif (atau neo-sufisme dalam bahasa Fazlurrahman) untuk mengimbangi dampak negative modernisme.

Tasawuf positif yang dimaksud di sini adalah tasawuf yang menitikberatkan pada aspek moral dan sosial. Dengan dasar syari’at yang kukuh dan semangat toleransi dan kosmopolitanisme yang tangguh. Tasawuf seperti ini menandai puncak perdamaian antara tasawuf dan syari’at yang sebelumnya telah dirintis oleh al-Qusyairi (376-465 H) dan diperjuangkan selanjutnya oleh al-Ghazali (450-505 H). Jenis tasawuf inilah yang penulis rasa sesuai diterapkan dan dikembangkan di Indonesia. Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf dalam upaya mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan disiplin spiritual yang ditawarkan untuk pendekatan diri kepada pencipta seraya menghindarkan diri dari dampak-dampak negative tasawuf sebagaimana yang terungkap dalam sejarah islam seperti kemunduran dan irrasionalisme.

Tasawuf harus didudukkan kembali pada fungsi asalnya yaitu sebagai penyeimbang antara kehidupan materi dan rohani. Ia adalah satu kaedah tuk membangun hubungan ideal antar manusia dengan tuhannya juga dengan masyarakat sekelilingnya.

Sudah saatnya penganut ajaran tasawuf menselaraskan sikap zuhud, qana’ah, wara’ , sabar dan tawakkal dengan konteks kekinian. Zuhud, misalnya, tidak harus diartikan sebagai penolakan terhadap keduniawian secara keseluruhan tapi dihadirkan kembali dengan wajah yang lebih segar sebagai bentuk penolakan terhadap gaya hidup materialistik karna cinta pada dunia (hubb al-Dunya) inilah yang harus kita jahui karna berpotensi menjadi akar segala masalah dan melupakan Tuhan.

Tasawuf punya tanggungjawab untuk membuat perubahan pada individu dan sosial yang lebih baik dengan pengajaran akhlak dan etika. Tasawuf harus membuktikan bahwa stigma negative yang sering dituduhkan oleh kalangan salafis dan bahkan kalangan liberal-progresif itu hanyalah isapan jempol. Penganut tasawuf tidak boleh hanya mencukupkan hidup dengan berdzikir, berkhalwat dan menjauh dari hingar bingar kehidupan sedangkan dia sadar bahwa di hadapannya telah banyak menunggu problematika umat yang semakin kompleks dan mendesak tuk dipecahkan.

Sufisme bukanlah tempat bagi para ‘pengecut’ yang tidak mampu menghadapi realitas sosialnya dan akhirnya mencari legitimasi religius untuk lari dari tanggungjawabnya. Sufisme juga tidak boleh membuat penganutnya merasa menjadi manusia ‘luar biasa’ yang seakan ‘fana’ berada di langit bersama Tuhan tapi melupakan bahwa kakinya masih menginjak bumi dan masih terikat dengan kebutuhan duniawi.

Saatnya tasawuf kembali menjadi motor penggerak bagi peradaban islam menuju keyaannya dan bukan malah menjadi beban yang harus bertanggung jawab penuh atas kemunduran peradaban agama hanif ini. Wallahu a’lam!
posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 1:23 PM   0 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment