Sunday, March 15, 2009
Orang Tua, Kita dan Barokah
Di masa kecil dulu saya sering mendengar cerita yang menurut saya –pada saat itu- sangat menarik. Cerita orang tua tentang orang yang mendapatkan barokah (Madura: Broka). Kebanyakan cerita itu aneh-aneh, ajaib, tidak masuk akal bahkan kadang menggelikan.
Diceritakan tentang seseorang yang mondok di pesantren, orang itu tidak pernah belajar, tidak bisa baca-tulis, di pesantren dia tidak sekolah tapi hanya menyapu halaman sang kiai, tapi setelah keluar dari pesantren pemuda itu tiba-tiba menjadi kiai besar, orangnya alim, santrinya banyak, ada yang bilang dia sakti, bisa terbang, kalau hari Jum'at dia sholat Jumatan di Mekah dengan mengendarai pelepah kelapa dan lain semisalnya. Orang bilang karena pemuda itu mendapat barokah dari sang guru. Ada juga sebuah cerita tentang anak seorang kiai yang nakal di masa mudanya. suka nyabung ayam, balap-balapan, minum-minuman keras. Tapi karna ilmu sang ayah diturunkan pada dia sebelum meninggal, di masa tuanya dia menjadi seorang yang alim. Orang bilang memang begitulah kalau keturunan kiai. Meskipun nakal, mereka pasti akan jadi orang alim karna akan mendapatkan warisan ilmu dari sang ayah. Anehnya waktu itu saya suka dan percaya pada cerita semacam itu. Mungkin karna waktu itu saya suka pada dongeng tentang Abu Nawas dan nenek sihir yang sering saya dengar dari bapak untuk mengantar saya tidur.

Lewat dari 20 tahun dari masa itu ternyata cerita seperti itu masih juga sering saya dengar. Para orang tua masih sering menjejali cerita tidak rasional semacam itu pada anak-anaknya. Masih sering juga saya mendengar mereka bilang, ' sekolah gak usah tinggi-tinggi, yang penting barokahnya!', ' banyak santri yang waktu mondoknya gak sekolah tapi karna mendapatkan barokah sekarang menjadi kiai besar'. 'ngapain sekolah tinggi-tinggi, la wong camat dan mentri sudah banyak!? Sarjana banyak yang nganggur!' Kata mereka. dan sederet kata konyol yang menandakan mereka sangat pesimis memandang pendidikan, masa depan dan kehidupan.

Berangkat dari kepercayaan para orang tua tentang barokah itulah mungkin yang menyebabkan jarangnya generasi muda lingkungan saya (Bangkalan) mengenyam pendidikan tinggi. Hanya beberapa bulan mondok di pesantren, asal bisa sedikit baca Qur'an, mengenal hukum najis-suci dari kitab fikih, itu sudah dianggap cukup oleh orang tua sebagai pendidikan anak-anak untuk menghadapi tantangan masa depannya. Setelah itu, anak gadis mereka nikahkan dan anak laki-laki pergi bekerja merantau ke negeri orang sedangkan selebihnya mereka serahkan sepenuhnya pada 'barokah'.

Pernah sekali saya berpikir bagaimana mungkin kita bisa punya masyarakat dengan basis pendidikan yang siap saing kalau sunnatullah yang sangat sederhana seperti itu saja kita tidak bisa fahami?!
Untuk apa kita membuat program pendidikan dari TK sampai Doktoral, mendirikan pesantren, universitas dan institusi pendidikan lainnya kalau ilmu pengetahuan bisa diturunkan?! Kenapa tidak kita tunggu saja 'barokah' dan turunan ilmu sambil hanya tidur-tiduran main game Zuma?! (he3)


Sangat ironis melihat fenomena itu di masa sekarang. Di tengah era yang menuntut multi disiplin ilmu dan multi keterampilan ini, di tengah masa yang berjalan sangat cepat ini, kita masih mempercayai cerita-cerita kolot semacam itu. Kita masih mempertahankan prilaku-prilaku lama dan bergelut dengan persoalan-persoalan kuno. Di saat orang lain telah mengecap lezatnya kemajuan kita hanya masih bisa melongo penuh ketakjuban. Ketika orang lain sudah berwacana tentang taqaarib madzahib (pendekatan antar madzhab) untuk merekatkan persatuan umat islam, kita masih saja sibuk mendebatkan apakah air yang jatuh dari basuhan wudlu' di wajah yang menetes ke tempat air itu musta'mal atau tidak, dan dengan itu membatalkan wudlu' atau tidak. Di saat orang gencar berdiskusi untuk menggabungkan pendapat madhab fikih tujuh madzhab (dari sunni sampai syiah) untuk merespon problematika zaman yang berjalan sangat cepat ini, mengambil yang masih relevan dari pendapat itu dan membuang sisanya, kita malah masih sibuk menyalahkan orang yang mengambil pendapat fikih selain as-Syafii. Di saat orang sudah mendirikan universitas-universitas berkualitas dengan berbagai fakultas dengan segala jenis ilmu dan keterampilan yang dibutuhan masa sekarang, kita malah masih suka membuang waktu dengan duduk-duduk ngerasanin anak tetangga yang tidak memakai penutup kepala (songkok) karna itu -menurut kita- lambang kesalehan. Di saat orang sedang gencar membahas tentang pendapat keagamaan apakah memang tidak bertentangan kemanusiaan (memanusiakan manusia), kita masih saja disibukkan dengan membahas tentang perbedaan jumlah cambukan untuk pelanggar syariat bila dia budak atau orang merdeka, perbedaan lama 'iddah mereka dan lain semisalnya.

Lebih ironis lagi, kita tidak pernah merasa ada yang salah dengan keadaan ini dan merasa tidak perlu ada yang dirubah. Semua kemapanan ini kita anggap sebagai kebenaran final yang tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya.

kadang saya merasa sangat jenuh dengan keadaan ini. di mana-mana saya hanya melihat orang tua yang ingin mengatur kehidupan jaman sekarang dengan kebiasaan masa lama mereka. Mereka hanya mau didengar tanpa mau mendengar. Mereka takut pada perubahan. mereka takut merubah kemapanan. Mereka takut kehilangan massa dan wibawa. Mereka takut pada masa depan karna sangat mengidolakan masa lalu. Mereka selalu memandang sesuatu (baca: pendapat keagamaan) yang baru dengan sinis, pesimis dan penuh kecurigaan. Mereka seakan lupa bahwa masa telah berubah dan dengan begitu permasalahannya juga beda. Beda permasalahan beda juga cara menyelesaikannya. Karna tidak mungkin kita bisa membangun gedung pencakar langit dengan hanya bermodalkan alat penganyam bambu bukan?!!

Alih-alih mau menyiapkan generasi penerus yang tangguh, siap pakai dan siap tanding di masa depan, mereka seakan memandang generasi muda yang datang setelah mereka dengan pandangan remeh dan bahkan penuh kecurigaan. Anak-anak muda dengan ide-ide cemerlang mereka sepelekan sebagai anak 'kemaren sore' yang hanya cari nama, tidak sopan (Madura; langka) pada guru dan orang tua hanya karna mereka bukan dari keturunan kiai atau lora (Jawa; gus). Kuncup-kuncup segar dengan kapasitas intelektual dan kapabilitas mumpuni itu akhirnya layu sebelum mekar karna tidak bisa melawan kemapanan salah kaprah yang terus dipertahankan.

Tanpa mengurangi rasa hormat, saya sebut ini adalah penyakit orang tua, perasaan serba tahu dalam melihat segala hal. Satu perasaan yang (maaf) sudah masuk dalam kategori kecongkakan. Mereka menilai hanya mereka yang bisa menyelesaikan semua permasalahan (tapi sayang dengan sudut pandang, cara berpikir dan cara lama yang belum tentu sesuai dengan realitas yang masa kini hadapi). Sedangkan anak muda di mata mereka tak ubahnya balita yang belum bisa berpikir dan belum bisa mengambil keputusan.

Memandang generasi muda dengan sebelah mata adalah tidak bijaksana, sama tidak bijaksananya dengan mempertahankan cara berpikir dan prilaku lama untuk menyelesaikan permasalahan masa kini. Bagaimanapun, generasi muda adalah khalifah (penerus) dari kafilah perjalanan yang sudah lama dirintis untuk setelahnya dilanjutkan dan dikembangkan. Mematikan kreatifitas generasi muda hanya karna dianggap tidak berhak punya otoritas (apa lagi jika hanya karna pertimbangan keturunan) adalah pembunuhan terhadap generasi. Cara pikir seperti inilah yang harus kita buang ke tong sampah sesegera mungkin. Bukan hanya karna sudah out of date tapi juga karna merupakan satu bentuk kepicikan dan kecongkakan. Kita butuh orang tua yang mau mendengar ide generasi muda, berdialog dengan mereka dengan sikap pengayom dan penyayang. Bukan orang tua yang hanya memandang generasi muda seperti bayi yang tidak bisa dan tidak tahu apa-apa. Sikap pengayom dan penyayang para generasi tua inilah yang akan membuat generasi muda menjadi sopan dan penyantun.

Saya tidak sedang berkata bahwa anak muda bisa mengatur segalanya. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa tanpa mereka berarti juga tidak ada masa depan. Terus mengajari mereka untuk tidak berpikir rasional adalah satu tidak pembodohan. Kalau cara berpikir seperti itu terus kita pertahankan, maka bersiaplah untuk selalu menyaksikan komunitas masyarakat yang melulu hanya berkubang dalam kemunduran dan kebodohan. Wallahu a'lam bisshowab!

Syarofiah Jeddah, Saudi Arabia
15 Maret '09 -
posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 6:53 AM   2 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment