Wednesday, April 2, 2008
Iman Yang ' Cengeng '

Dua bulan yang lalu, saya terpaksa pindah rumah karna rumah yang saya sewa (Tajammu’ Khomis) akan diambil pemiliknya. Sebenarnya kejadian seperti ini biasa terjadi di sini. Tapi karna saat itu mendekati masa ujian term 1 (musim dingin), sayapun merasa panik juga mengingat muqorror (diktat kuliah) belum terbaca semuanya dan persiapan ujian bisa dibilang masih nol. Di saat ‘kritis’ seperti itu, secara kebetulan saya bertemu seorang teman yang tinggal agak jauh dari daerah tempat saya tinggal (daerah H-10 Nasr City). Setelah bertegur sapa seperlunya lalu dia menceritakan pada saya bahwa rumah yang dia sewa sekarang membutuhkan satu orang lagi agar genap 6 orang (rumahnya 3 kamar dan tiap kamar didisi 2 orang).

Dengan sangat senang saya menerima tawarannya untuk tinggal di rumah itu setelah dia bermusyawarah dengan anggota rumah yang lain.

Sehari setelah pertemuan itu, dia menelpon saya dan bilang bahwa semua orang rumahnya setuju jika saya tinggal bersama mereka. Lalu dia memberi tahu bahwa sebaiknya saya segera pindahkan barang-barang agar segera bisa belajar untuk persiapan ujian, hari itu juga saya pindah barang dan resmi menjadi anggata rumah.

Akan tetapi entah mengapa, sehari setelah itu teman yang mula-mula menawari saya untuk tinggal di rumah nya itu secara tiba-tiba mengajak saya ngobrol ‘empat mata’ seraya meminta saya tidak kaget atau marah.

Setelah basa-basi seperlunya dan minta maaf sebelumnya, teman saya itu langsung ke pokok masalahnya. Dia bilang bahwa saya diminta keluar dari keanggotaan rumah itu hari itu juga dan ini adalah kesepakatan bersama. Demi mendengar itu, kontan saja saya kaget. Setelah saya tanya kenapa, dia hanya bilang, ada anggota rumah yang tidak mau saya tinggal dengan mereka tanpa memberi tahu alasannya. Karna terdorong rasa heran, saya mendesak kenapa teman itu tidak mau menerima saya, diapun kembali mengatakan jawaban yang sama: saya juga tidak tahu! Bahkan teman yang menolak saya itu katanya akan keluar dari keanggotaan rumah itu kalau saya memaksa masuk.

Merasa seperti dipermainkan, dengan menahan marah campur heran saya bilang secara terus terang bahwa cara mereka ini tidak dewasa sama sekali. Kenapa saya disuruh pindah barang lalu disuruh keluar lagi? Kenapa teman yang tidak setuju itu tidak mau memberikan alasan logis atau bicara langsung pada saya secara baik-baik? Kalaupun saya punya salah, saya bersedia minta maaf asal ada dialog dan bukan dengan cara anak-anak seperti itu.

Ternyata pernyataan saya itu membuat teman itu berterus terang. Dengan nada yang tetap ‘tidak enak’, dia menceritakan alasan temannya menolak saya. Dengan panjang lebar dia ceritakan kepribadian tamannya itu mulai dari kebiasaanya membaca Qur’an tiap hari, sholat berjamaah di masjid, rapi dan bersih dalam segala hal, benci orang merokok hingga sikap dan posisi dia dalam bergaul dengan orang-orang yang tidak sefikrah dan sepemikiran . Cerita panjang lebar itu berujung pada satu kesimpulan dalam diri saya bahwa dia tidak mau serumah dengan orang yang berpikiran terlalu bebas dan terbuka ( liberal?)

Setelah pembicaraan itu, teman itu meminta maaf dan minta agar saya tidak berubah sikap padanya setelah kejadian ‘memalukan’ ini. Dengan perasaan kecewa saya akhirnya menganggkat barang-barang yang terlanjur dibawa kesana hari itu juga. Layaknya orang yang diusir paksa, saya mengangkat koper-koper besar itu dengan susah payah menuruni 4 tangga. Sebelum turun tangga, saya sempat berujar pada teman saya itu dengan harapan dia akan cerita pada teman yang tidak menyukai saya itu. pemikiran dan keyakinan biarlah menjadi urusan saya dengan Allah tapi dalam muamalah sesama manusia kita ditutuntu adil tanpa membedakan siapa dan apa.

****

Kisah saya itu hanyalah sekelumit dari berjuta kejadian yang ada di sekitar kita. Di tempat saya kuliah sekarang (al-Azhar Cairo), meskipun semua bentuk pemikiran islam berkembang, diterima dan diapresiasi, masih juga ada sekelompok orang yang merasa berbeda dengan orang di sekitarnya. Mereka merasa lebih baik, lebih bertakwa dan merasa lebih beriman. Oleh karna itu, mereka merasa perlu memberikan tameng yang kuat untuk membatasi mereka dengan orang yang mereka anggap ‘ the other’. Mereka membedakan antara yang benar (minna) dan yang yang mereka anggap salah (minkum).

Orang-orang seperti itulah yang saya istilahkan sebagai orang yang mempunyai iman yang ‘cengeng’; Iman yang terlalu peka, sensitif, anti- sentuhan, mudah pecah, hancur dan hilang. Selayaknya anak kecil, iman mereka mudah ‘menangis’ sehingga mereka perlu memilah-milih teman bermain. Oleh karna itu, mereka akan spontan menolak teman yang mereka anggap nakal dan membahayakan.

Orang dengan iman jenis ini biasanya sangat protektif pun juga paling sulit diajak dialog. Karna mereka selalu menganggap orang selain firqahnya sebagai orang lain (other) atau juga sebagai musuh (enemy).

Hal yang saya alami dalam pergaulan mahasiswa Mesir (Masisir)seperti di atas, dalam skala yang lebih besar juga sedang terjadi dalam pergaulan masyarakat di Indonesia. Tak henti-hentinya kita membaca berita tentang para fundamentalis-islam (kalau istilah ini diterima) di Indonesia melakukan pembelaan ketika mereka merasa iman mereka terancam dengan cara yang baik tapi kadang dengan cara yang kurang baik. Bahkan lebih jauh, mereka merasa perlu membentengi iman setiap individu masyarakat agar tidak terpengaruh pemikiran kelompok yang mereka anggap the other. Mereka menolak membalas salam dari orang tidak seagama, mengharamkan mengucapkan selamat natal, mengharamkan pembacaan doa satu forum dengan orang yang tak seiman dan lain semisalnya yang menunjukkan lemahnya iman mereka. Mereka tidak segan-segan melakukan apa saja yang dianggap perlu untuk menunjukkan bahwa hanya iman merekalah yang paling benar.

Bahkan ada di antara mereka satu kelompok yang sangan berifat keras terhadap orang yang tidak seagama. Dalam pandangan kelompok ini, orang yang tidak beragama Islam tidak berbeda dengan benda najis dan tidak layak untuk hidup. Oleh karna itu mereka merasa perlu meluangkan waktu untuk merakit bom kemudian meledakkannya di tempat umum dengan harapan semakin banyak jumlah orang kafir (non-Islam) yang mereka bunuh maka akan semakin muluslah jalan menuju syurga.

****

Iman yang kuat tidak akan merasa takut pada keragu-raguan. Ia tidak akan terpengaruhi oleh rasa was-was yang berlebihan. Iman adalah keyakinan maha tinggi kepada Dia yang maha tinggi. Hanya Dia swt yang Maha Mengetahui ukuran keimanan dari hambanya. Apabila iman kita adalah iman yang kuat dan tidak ‘cengeng’, kita tidak perlu merasa was-was kepada apa saja dan siapa saja. Kita bebas mengetahui apa saja dan bebas bergaul dengan siapa saja. Kita tidak perlu lagi mengusir teman dari rumah kita hanya karna dia berpikiran terbuka atau liberal. Kita juga tidah perlu merasa berkewajiban membentengi iman orang lain karna iman adalah urusan Tuhan dan hambanya. Kita tidak perlu bersikap sinis terhadap orang yang tidak seagama dengan kita , pun juga kita tidak perlu bertidak bodoh dengan meledakkan bom yang akan membunuh diri dan orang lain. Ingat, Islam mengajarkan kebaikan yang universal; kebaikan yang jauh melampaui sekat agama, bangsa, jenis ras dan keyakinan. Barang siapa bertindak kriminal dengan mengatasnamakan Islam, maka sama halnya telah menghiananti Tuhan dan menginjak nilai kemanusiaan. Karna Allah tidak menurunkan Islam hanya sebagai rahmatan lil muslimin tapi Islam ada untuk menjadi rahmatan lil alamin.

Rabbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba’da idz hadzaitanâ…..



Tajammu’ Khomis, New Cairo

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:25 PM  
1 Comments:
  • At July 19, 2010 at 8:29 AM, Blogger Unknown said…

    ur title really interesting and uniqe...
    so that it invites me to read it...
    kirain cm jdulx aja yg bgus, stlh baca, mmg crta u yg kali ini bgus bgt...uda kayak AGus mUstofa aja pyajian kata2x, meskpun aliran genrex beda,,heh(kbtulan sy pengagum karyanx)
    u orangx sgt liberal bgt ya zal....
    hehe

     
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment