Saturday, April 5, 2008
Kiri-Islam; Proyek Yang Gagal?

Meskipun kemunculan proyek kiri-Islam telah lama diperkenalkan dalam berbagai wujud dan perannya tapi usahanya selama lebih dari 40 tahun semenjak dibentuknya bukan tidak mengalami rintangan. Mulai dari pertentangan partai politik keagamaan dan partai sekuler, konservatifisme, peran negara dan institusi agamanya, pemikiran ‘rumor’ disebabkan kepalsuan peran media hingga sikap taklid dalam masyarakat yang membuat mereka kurang berpikir kritis telah membuat masyarakat menilai proyek kiri- Islam sebagai;

1. Di dalam Islam tidak ada kiri dan kanan. Islam adalah satu dalam esensi dan aqidah: iman pada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, hari akhir dan ketetapan baik-buruk-Nya. Ibadah tidak pernah berubah dalam rentang masa. Kesaksian ‘tiada Tuhan selain Allah’ wajib diucapkan oleh lisan semua muslim tanpa melihat di mana tempat dan kapan masanya. Secara teori hal ini benar adanya. Tapi perbedaan interpretasi dan pengalaman hidup umat muslim, khususnya dalam segi adat dan interaksi sosial (muamalah) mengindikasikan bahwa kiri-Islam telah menjadi satu kekuatan sosial dalam masyarakat yang tidak terbantahkan. Para fakir miskin, orang terlantar, kelas rendah untuk menandingi kaum borjuis, pegawai dan kaum buruh, pemberian bantuan makanan dan banyaknya kios-kios pakaian islami semakin menguatkan indikasi bahwa di setiap kehidupan sosial masyarakat ada ‘kanan’- ‘kiri’, Kaya-miskin serta kelas tinggi dan rendah. Kiri-islam merupakan rangkaian realita sosial, politik dan sejarah dalam islam di setiap kurun sejarah tertentu dan dalam bangsa tertentu. Seperti adanya perdebatan antara mazdhab fikih yang empat, kecenderungan filsafat dan ilmu kalam, serta beragamnya tarekat-tarekat sufi, begitu juga adanya interpretasi keagamaan selalu menuntut adanya perubahan sesuai kebutuhan manusia dan tingkat sosialnya sesuai dengan perkembangan masa dan tempat sebagaimana Syafii yang merevisi pendapatnya antara Iraq dan Mesir.

2. Kiri-Islam menuntut penyatuan antara beberapa ideologi tapi kadang-kadang menuntut penggabungan antara ideologi yang bahkan saling berseberangan. Karenanya kiri-Islam adalah proyek yang ‘impossible’ sebagaimana ‘es goreng’ (al-tsalj al-Maqly). Islam menolak dikotomi kanan dan kiri; kiri adalah sekularisme anti agama sedangkan kanan adalah agama anti sekularisme. Padahal sejatinya pemahaman antara dua hal itu tidak bertentangan sama sekali sebagaimana terma lama dan baru, masa lalu dan esok, turats dan kontemporer, cabang dan asal, akhirat dan dunia. Semua karakteristik kiri-Islam menutut untuk dipraktekan di masa kini. Kiri-Islam adalah islam tercerahkan karna masa kini yang menuntut rasionalisme dan pencerahan sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh berberapa pemikir Arab semisal Muhammad Abduh, Mustofa Abd al-Roziq dan Toha Husen. Ia adalah islam liberal sebagaimana masa kini menuntut kebebasan seperti yang diperjuangkan Tahtowi, al-Aqqad dan Syarqawi. Ia adalah islam sosial karna masa kini yang menuntut keadilan sosial dan persamaan seperti yang diperjuangkankan oleh Mustofa Syiba’i di Syiria. Ia adalah islam-bangsa sebagaimana halnya Munir Syafiq, M. Kholfallah dan M. Imarah yang mencoba menyatukan kembali umat yang porak-poranda setelah bubarnya kekhilafahan Turki pada tahun 1923. Ia adalah islam humanis seperti yang diperjuangkan al-Aqqad untuk membela hak-hak asasi manusia. Ia adalah islam progresif seperti yang dipraktekkan di Tunisia untuk menyatukan bangsa Arab yang terbelah menjadi beberapa negara yang berbeda. Ia adalah islam natural; dimulai dari alam dan manusia untuk mengimbangi hegemoni ‘teks’ dan ‘huruf’ seperti proyek Abu Majid dan Salim al-Awa. Ia adalah islam-negara seperti proyek Thoriq Basyari untuk mengimbangi menguatnya ‘identitas golongan’ dan berangsur menghilangnya nasionalisme. Ia adalah islam keummatan seperti Adil Husen melawan ketidakadilan dalam pembagian letak terotorial kenegaraan dan kekayaan alam. Ia adalah

Islam sekuler seperti partai al-Wasath mencoba melawan hegemoni agama yang mengkroposi nilai-nilai kebebasan, akal, keadilan sosial dan hak asasi manusia sedangkan semua itu adalah nilai dasar syariat islam. Ia adalah islam ‘pergerakan-tercerahkan’ untuk mengimbangi nalar keagamaan yang terpaku pada doktrin dogmatis yang masuk dari telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri.

3. Kiri-Islam berorientasi materialis-komunis. Ia abai pada hal-hal yang bersifat metafisika semisal hidup setelah mati atau yang lebih kita kenal dengan hari kebangkitan. Sejatinya penggambaran islam jenis ini adalah ‘penyakit’ sejak masa kekaisaran Ustmani; mementingkan akhirat di atas dunia dan jiwa melebihi badan. Sedangkan hal itu menjadi sasaran inti pergerakan islam modern. Asas utama turats islam adalah mementingkan alam. Bahkan Ilmu kalam sendiri dimulai dari alam untuk membuktikan adanya Tuhan. Para filosof Muslim lebih dulu berbicara tentang ilmu thobi’iyyah sebelum membahas tentang ilahiyyah. Sebagian para sufi bahkan berpegangan pada prinsip kesatuan wujud (wihdat al-wujud); penggabungan antara Yang Maha Benar dan penciptaan, juga ilmu ushul fiqh selalu berpatokan pada illat dalam hukum untuk menganalogikannya pada kebaruan realitasnya.

4. Kiri-Islam adalah produk Barat yang membebek pada ‘teologi pembebasan’ yang ada dalam tradisi Kristen. Padahal sejatinya, kiri islam adalah pembaruan dan pengembangan dari gerakan ishlah yang diusung Afgani dan M. Iqbal agar lebih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan memberikan kontribusi lebih untuk kemajuan umat. Beberapa agama seperti Kristen, Budha dan hindu telah lebih dulu menggunakan teologi pembebasan sebagai tonggak pergerakannya untuk mendapatkan kebebasan, keadilan, kemerdekaan dan kemajuan dimulai dari tradisi agamanya. Sedangkan kita tetap terpecah belah di bumi Palestina, Afganistan, Irak, Chechnya dan Kashmir. Kita sebenarnya tidak punya apa-apa tapi tetap saja selalu merasa dalam kebesaran. Semua penggambaran itu menyadarkan kita bahwa selama ini kita (al-Ana) hanya mengambil lebih sedikit dari apa yang sepatutnya kita dapat dan memberikan pada Barat (al-Akhar) lebih banyak daripada yang seharusnya mereka dapat. Seakan kita diharuskan menisbatkan semua bentuk kemajuan dan kreasi pada sumber awalnya yaitu Barat tapi di saat yang sama kita dipaksa untuk selalu ikhlas pada status kita sebagai ‘siswa abadi’. Sedangkan sejarah pernah mencatat bahwa di masa lalu Islam pernah mencetak kegemilangannya dimulai dari dalam dan muslim tidak pernah merasa khawatir untuk berinterkasi dengan peradaban-peradaban dunia lainnya seperti Yunani dan Romawi di Barat, Persia dan India di Timur, dan sekarang dengan Eropa di selatan serta Afrika di Utara

5. Kiri-Islam adalah pembauran antara agama dan politik yang bertujuan membentuk pemerintahan. Ia semata-mata hanyalah pembagian peran bagi pergerakan Islam untuk mencapai tampuk kekuasaan atau hanyalah bentuk baru dari gerakan konservatifisme yang juga tidak akan menolak pemisahan agama dan politik.

Sedangkan realitanya islam –dalam tataran teori seperti sikap Barat menghadapi pertikaian gereja dan negara- selalu mencoba menerjemahkan idealisme, teori dan pemikirannya ke dalam praktek dan wujud kerja nyata. Tujuannya adalah kemajuan dan perubahan sosial tanpa harus mengorbankan idealisme yang lebih dulu ada sehingga islam bisa menjadi tahap ke tiga (lahdlah tsalisah) dalam tahap-tahap perkebangan hubungan politik dan agama. Dalam Islam tidak akan terjadi penggugatan dari masa kini kepada masa lalu seperti yang telah terjadi di Barat ; dalam tahap perkembangan pertama (lahdlah ula) ketika politik menghegemoni agama seperti dalam tradisi agama Yahudi atau tahap kedua, ketika politik dipisahkan sama sekali dari agama seperti tradisi agama Kristen. Kiri-Islam selalu berkomitmen menolak tatanan politik yang berjubah emas di luar tetapi bobrok di dalam. Ia juga akan menolak institusi agama yang fatwa dan tokohnya mengintervensi negara dalam pengambilan kebijakan hubungan luar negeri dan system perekonomiannya. Karna dalam islam tidak pernah dikenal rijal al-Din ataupun kekuasaan agama (sulthah al-Diniyyah). Yang ada hanyalah kekuasaan ilmu pengetahuan. Kiri islam mencoba membuang opini bublik bahwa sekularisme selamanya anti-agama sekaligus mengurangi penolakan gerakan islam konservatif pada ideologi sekularisme, sosialisme, liberalisme, marxisme dan ‘islam tercerahkan’ seperti yang ada di Turki dan Malaysia. Ia juga menolak kemunafikan peran media dan penggunaan agama untuk melegitimasi kebenaran satu partai politik.

6. Kiri-Islam ditolak masyarakat karna bertentangan dengan tradisi mereka. Ia laksana sebuah ikrar yang semakin menguatkan pertentangan antara ‘kanan’, ‘kiri’ dan ‘negara’. Menurut perspektif kaum kanan ia adalah komunisme yang anti agama sedangkan dalam institusi kenegaraaan, kaum kiri-Islam bahkan dianggap sebagai ‘persaudaraan komunis’ seperti yang dituduhkan oleh Syah Reza Pahlevi sebelum meletusnya revolusi islam Iran. Keberadaan Kiri islam tidak menggenapi apa-apa selain menjadi minoritas yang terbuang di antara menguatnya kehendak mayoritas.

Sedang dalam kenyataannya, interaksi kiri-Islam secara langsung dalam pelbagai problematika umat menandakan kemampuannya untuk mengekspresikan kekuatannya yang terpendam untuk merukunkan antara dua arus pemikiran salafi dan kaum sekularis dengan tujuan menjaga dua syariat di saat yang sama; Islam dan alam, agama dan revolusi. Kiri islam tidak bertujuan mengambil alih kekuasaan. Ia menfokuskan perannya untuk menjaga kesatuan umat dalam perjalanan sejarah. Sesunguhnya Allah akan mengutus dalam tiap masa seratus tahun orang yang akan memperbaharui agama.

Penulis : Dr. Hasan Hanafi. Diterjemahkan oleh Syaifullah Rizal Ahmad dari harian al- Ittihad, Uni Emirat Arab dan alarabiya.net (15 Maret 2008)

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 3:54 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment