Saturday, February 21, 2009
Menikah, Antara Cinta, Sex dan Tanggung jawab

‘Kapan kamu mau menikah?’. Berkali-kali pertanyaan itu diiakjukan pada saya oleh teman-teman dan tetangga. Mungkin karna faktor usia yang sudah bisa dibilang cukup dan juga pendidikan yang sudah tamat (sarjana).

Setiap kali mendapatkan pertanyaan itu ku hanya menjawab ‘ sebenarnya ku ingin tapi belum siap’.

Menurut saya, perlu kesiapan extra untuk menikah. Siap mental, sosial, tanggung jawab dan juga kesalehan. Menikah tidak boleh hanya dipandang sebagai pelarian dari menggebunya nafsu birahi (sex). Menikah menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab moral dan sosial, tanggung jawab kepada Tuhan, keluarga dan pada masyarakat. Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan tujuan dari pernikahan adalah tanggung jawab itu sendiri. Kita menikah untuk menjadikan kita bertanggung jawab. Menjadikan masing-masing anggota keluarga merasa bertanggung jawab pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Berikut ini saya jelaskan tentang 3 kategori dorongan untuk menikah (sebatas pengamatan saya sendiri dan sangat subjektif)

1. Menikah Untuk Cinta

Rasa saling menyayangi adalah karunia Tuhan di hati semua makhlukNya. Sudah wajar dua orang yang punya perasaan saling menyayangi ingin saling memiliki saatu sama lain. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tidak satupun orang yang ikhlas berbagi dalam urusan kasih sayang (poligami). Kalaupun ada, itu bisa dibilang kelainan dan bersifat kasuistis.

Kasih sayang adalah landasan dasar dan utama dalam membangun rumah tangga. Pernikahan yang dilandasi cinta akan bertahan awet dan langgeng. Sebaliknya, pernikahan yang tidak dilandasi cinta (hanya nafsu birahi saja misalnya) terbukti tidak akan bisa bertahan lama. Padahal kelanggengan dalam membina rumah tangga itulah yang menjadi tujuan. Jumhur ulama mengatakan bahwa ‘’ Tujuan dasar dari pernikahan adalah keawetanan dan kelanggengan (dawam wal istimrar) dalam hubungan rumah tangga sehingga akan tercipta ketentraman, kasih sayang dan rahmat di dalamnya dan juga terjaganya garis nasab serta keturunan’’ (Prof.Dr.’Athiyah Saqqor, 1997)

Dari pernyataan di atas bisa difahami bahwa pernikahan yang terikat waktu (mu’aqqatan, seperti yang lazim dipraktekkan oleh penganut Syiah fundamental dan para laki-laki pemuja sex yang mengaku tahu syariat) tidak termasuk dalam kategori pernikahan yang diperbolehkan karna tujuan syariat (maqoshid syariah) dari pernikahan tidak didapatkan di sana. Pernikahan berjangka waktu (mut’ah) memang pernah dipraktekkan oleh sahabat pada masa Nabi untuk menjaga agar para tentara Islam yang berperang berbulan-bulan di medan itu tidak melakukan dosa (zina atau sodomi) dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Di sinilah letak rasionalitas syariat islam. Setelah itu, nikah mut’ah dilarang oleh Nabi hingga hari kiamat

Dalam lingkungan keluarga Madura konservatif (seperti lingkungan saya) ada persepsi yang mengatakan cinta sebelum menikah itu tidak penting. ‘ Cinta akan tumbuh dengan sendirinya setelah menikah nanti’ kata mereka. Berangkat dari pemahaman itu tradisi menjodohkan anak (tanpa persetujuan si anak) terus dikekalkan di sana.

Persepsi di atas tidak bisa dikatakan seratus persen salah tapi juga tidak seluruhnya benar. Bagi orang tua yang membela tradisi itu mungkin akan mengatakan bahwa terbukti rumah tangga dari pasangan yang dijodohkan itu bisa bertahan. Tapi mungkin luput dari pikiran mereka bahwa tidak semua rumah tangga yang bisa bertahan itu bahagia. Perlu dicatat di sini bahwa bisa bertahan tidak berarti pasangan itu bahagia. Ada juga pasangan keluarga yang bertahan tapi tidak bahagia. Mereka memilih itu hanya karana beban mental pada masyarakat sekitar atau karna pertimbangan prestasi sosial yang dimiliki si suami atau si istri.

2. Menikah Untuk Sex

Manusia diciptakan dengan memiliki nafsu birahi. Nafsu ini bisa menjerumuskan manusia ketingkat lebih rendah dari binatang apa bila tidak diatur dan dikendalikan. Syariat islam tidak datang untuk melarang manusia melampiaskan nafsu birahinya melainkan hanya untuk mengaturnya agar manusia tidak terjerembab pada praktek-praktek yang merugikan dirinya sendiri. Islam tidak pernah memposisikan manusia seperti malaikat yang tercipta tanpa nafsu. Oleh karenanya islam melarang praktek kerahiban (kependetaan) yang melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. (la rahbaniyyata fil Islam)

Sex adalah kebutuhan manusia nomal. Keberadaannya dalam rumah tangga tidak bisa disepelekan. Meskipun begitu, sex bukanlah tujuan utama dari pernikahan. Hubungan biologis yang diikat dengan pernikahan ditujukan untuk meredam nafsu birahi pada praktek terlarang, hedonisme, dan juga sebagai sarana untuk meneruskan garis tali keturunan.

Fenomena menikah untuk sex sudah tidak menjadi hal baru di Indonesia. Seperti yang digambarkan oleh satu film layar lebar yang mutunya sangat jelek dan tidak baik untuk ditonton berjudul ‘Kawin Kontrak’. Film ini mengisahkan bahwa ada satu tempat di daerah Jawa Barat yang memang cewek-ceweknya bersedia untuk dikawin berjangka waktu, ikontrakkan selayaknya rumah.

Saat menonton film ini saya kira itu hanyalah rekaan sutradara yang tidak ada dalam dunia nyata. Bagaimana mungkin ada cewek yang mau mengontrakkan ‘ anu’ nya?! (maaf).

Pikiran saya berubah setelah beberapa bulan saya tinggal dan memerhatikan kehidupan komunitas tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Saya melihat di sini kebanyakan orang menikah hanya untuk sex. Saya banyak melihat laki-laki di sini menikahi satu perempuan, dua bahkan tiga sedangkan mereka sudah punya anak istri di Indonesia. Kemudian bila sudah mau pulang, istri-istri tersebut mereka ceraikan. Jadi tidak mengherankan bila ada satu perempuan yang sudah berganti suami beberapa kali hanya dalam jangka waktu beberapa tahun saja. Yang paling mengherankan, kenapa perempuan-perempuan itu mau dinikahi walaupun mereka tahu persis bahwa nanti mereka akan diceraikan.

Sependek yang saya perhatikan ada beberapa faktor yang mendorong ke arah itu. Pertama, tidak seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan dalam komonitas pekerja di sini. Jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Dengan begitu mereka tidak punya pilihan. Mereka juga punya kebutuhan biologis. Mereka bukan malaikat. Maka itu mereka mau saja diajak kawin meskipun tahu bahwa calon suaminya sudah punya beberapa istri.

Kedua, mudahnya mengurus administrasi perkawinan. Menikah di sini tidak usah ada pesta, mengundang banyak orang dan menghabiskan banyak uang. Tidak usah mengurus surat-surat ke KUA. Cukup dengan sungkem duit 100 reyal pada ustadz yang menikahkan, memberi makanan ala kadarnya pada wali dan saksi, mereka sudah bisa punya istri.

Ketiga, orientasi hidup, makanan dan lingkungan. Orientasi para tenaga kerja di sini hanyalah bekerja dan gaji. Makanan khas Arab yang berpotensi membangkitkan gairah seperti laban (susu), daging, lemak dan sejenisnya. Sedangkan lingkungan para pekerja yang menuntut para pekerja itu bekerja seminggu penuh dan hanya pulang hari jumat saja. Bisa dibayangkan orientasi, makanan dan lingkungan yang hanya melulu begitu pasti membuat mereka jenuh, birahi tinggi dan haus hiburan. Sedangkan kendala kultur yang sangat membatasi kebebasan wanita untuk keluar rumah pasti memaksa mereka mencari hiburan yang ada di dalam rumah saja. Tentunya tidak usah disebutkan di sini hiburan apa yang ada di rumah. (he3)

3. Menikah Untuk Tanggung Jawab

Seperti yang telah disebutkan di atas, menikah menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab pada keluarga, moral dan sosial. Tidak syak lagi, menikah dengan tujuan inilah yang menjadi keinginana semua orang. Karana tanggung jawab akan membawa kebahagiaan sejati dalam berumah tangga seperti yang diimpikan semua orang. Suami yang bertanggung jawab akan memenuhi segala kebutuhan istri dan keluarganya baik kebutuhan lahir (sandang pangan) maupun kebutuhan batin (cinta dan sex).

Jadi, perlu kesiapan extra untuk membina rumah tangga. Persiapan materi, pertimbangan yang matang, kedewasaan berpikir, dan juga prestasi (akademik dan social). Pemikiran konservatif yang mengatakan bahwa 'setelah menikah semua pintu rizki akan terbuka dengan sendirinya, tidak usah banyak pertimbangan, menikah saja dulu' baiknya segera kita tinggalkan karna mempercayai suatu yang tidak rasional di masa sekarang akan menjadi bahan tertawaan dan hanya akan berujung pada pembodohan dan kebodohan. Karna teman hidup tidak hanya akan kita gunakan satu atau dua hari, melainkan seumur hidup.

Karna pertimbangan itu pulalah saya menjawab ' sebenarnya saya ingin tapi belum siap' bila ada orang yang bertanya kapan saya menikah. Karna saya tidak ingin menikah hanya untuk sex saja (na'udzubillah) atau untuk cinta saja. Saya ingin menikah untuk ketiga-tiganya. Menikah untuk tanggung jawab, cinta dan sex dengan wanita yang tepat di saat yang tepat. (A right woman in a right time). Doakan!


Jeddah, Saudi Arabia

21 February 2009

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 3:56 AM   0 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment