Thursday, April 3, 2008
Dari Pengkultusan Menuju Kritik Rasional


Tidak berlebihan kiranya bila saya menyebut masyarakat Madura adalah masyarakat yang kiyai-oriented. Sebuah komunitas masyarakat yang mengorientasikan semua pandangannya kepada tokoh agamawan yang biasa mereka sebut kiyai. Para kiyai dalam kehidupan masyarakat Madura tidak hanya berkedudukan sebagai spiritual leader tetapi lebih jauh dari itu, mereka juga berkedudukan sebagai political leader dan – pada tataran masyarakat awam-fanatik-- para kiyai bahkan diposisikan sebagai legitimator dalam semua permasalahan sosial masyarakat. Disebut legitimator dikarnakan hampir dalam seluruh permasalahan yang dihadapai masyarakat, para kiyai adalah sebagai 'desicion maker' dan suara tunggal pengambil kebijakan. Apa yang mereka katakan baik maka masyarakat akan juga akan sendiko dawuh. Begitu juga sebaliknya bila sang kiyai mengatakan buruk maka tidak akan ada satupun suara yang berani menentangnya.


Tampaknya, masyarakat memandang bahwa semua permaslahan dunia maupun agama, para agamawanlah yang berhak memutuskannya. Ini bisa dilihat dari ketergantungan mereka untuk iftita' (minta fatwa) kepada para tokoh agamawan dalam urusan keluarga, permasalahan dengan tetangga sampai pada partai mana yang akan mereka coblos dalam PEMILU, masyarakat menyerahkannya pada keputusan sang kiyai.


Dalam alam bawah sadar masyarakat awam sepertinya telah mengendap satu keyakinan bahwa tokoh agamawan mengetahui sesuatu yang gaib dikarnakan mereka adalah ahli ibadah, wali dan dekat dengan Tuhan. Keyakinan semacam ini terus dipelihara masyarakat secara turun temurun. Berangkat dari keyakinan semacam ini juga budaya pengkultusan terus langgeng dikekalkan.


Pengkultusan yang saya maksud di sini adalah penghormatan yang berlebihan kepada satu tokoh agamawan sehingga mereka lupa bahwa para kiyai itu adalah juga manusia biasa yang tidak akan bisa bebas dari salah dan lupa. Pengkultusan semacam itulah yang menurut saya telah mematikan daya nalar kritis masyarakat untuk sekedar mengeritik apalagi menyalahkan sang tokoh apabila ada satu perbuatan yang dianggap ganjil atau menyalahi aturan.

Sekedar menyebutkan contoh. Hampir seluruh tokoh agamawan yang menjadi pemimpin di lembaga pendidikan tradisional selalu menyerukan pada masyarakat untuk selalu hidup zuhud dan qona'ah. Menjauhi dunia itu lebih baik dari pada berlomba-lomba menimbunnya karna dunia adalah pangkal segala bencana, kata mereka. Untuk mendukung pendapatnya ini maka para tokoh agamwan itu merujuk pada kitab-kitab turats yang menerangkan fadilah zuhud(keutamaan hidup zuhud) dan menjauhi dunia seperti kitab ihya' ulumuddin karangan al Ghozali. Akan tetapi di saat yang sama para tokoh agamawan itu selalu menjalin hubungan dengan pengusaha kaya, bisniss man, atau bahkan politikus. Bila kita perhatikan gaya hidup para pemuka agama tersebut, kita akan temukan kenyataannya sangat berbalik dengan apa yang mereka ajarkan dalam pengajiannya. Apabila ada sindiran dari masyarakat tentang hal ini, tokoh agamawan itu biasanya akan membela diri dengan mengatakan bahwa agama tidak melarang ummatnya untuk menjadi kaya. Sebagai penguasa ajaran, pemuka agama itu tidak akan kesulitan mencari argumentasi atau legitimasi atas perbuatannya misalnya dengan mengatakan kekayaan di tangan orang sholeh adalah rahmat dan kekayaan di tangan orang jahat adalah bencana.
Dan jelas, yang mereka maksud dengan orang sholeh di sini adalah agamawan itu sendiri.

Contoh kedua adalah mereka selau menganjurkan para wali santri agar memerhatikan anaknya dalam menjaga batas pergaulan tapi di saat itu pula para agamawan itu lupa bahwa anak-anak mereka berkeliaran di arena-arena balap motor, di konser-konser musik bahkan di diskotik. Apologi klasik yang sering dilontarkan dalam masalah ini adalah dengan mengatakan '' walaupun anak seorang kiyai nakal pada saat mudanya, tapi tobat mereka adalah taubatan nashuha. Nanti kalau sudah besar, mereka akan kejatuhan ilmu dari ayahnya dan mereka akan menjadi orang alim. Berbeda bila yang nakal itu bukan anaknya kiyai ''. Kalau kita perhatikan, apologi semacam ini terkesan sangat menggelikan karna jauh dari akal sehat dan abai akan hukum kausalitas (sababiyah).

Contoh ketiga adalah kebiasaan para pemuka agama itu berpoligami (atau multigami).sebuah keluarga yang anaknya diminati sang kiyai akan sangat bersyukur karna mereka – katanya- akan mendapatkan barokah, meskipun mereka tahu anaknya akan dijadikan istri ke-3 atau bahkan ke-4. Surat an Nisa ayat 2 dan 3 akan segera dibacakan oleh sang kiyai kepada mereka yang menolak diperbolehkannya beristri lebih dari satu. Seakan-akan poligami itu adalah dianjurkan oleh agama dan bukan hanya sekedar keringanan( rukhshoh). Para pemuka agama itu bukannya tidak tahu bahwa syarat berpoligami itu adalah harus bisa adil tetapi dalam banyak kasus keadilan itu hanyalah utopia (angan-angan). Apabila mereka sudah tidak berminat lagi, mereka biasanya menceraikan istrinya itu dan jadilah keluarga si istri menjadi objek gunjingan orang-orang sebagai orang yang membuat sang kiyai murka seakan-akan keluarga yang telah membuat sang kiyai murka adalah keluarga yang terlaknat dan tidak berhak mendapatkan bahagia.

Satu hal yang harus dirasa aneh adalah bahwa tidak ada satupun orang yang berani mengeritik keadaan ini. Alih-alih menyalahkan, menggunjingkan salah satu tokoh agamawan dalam masyarakat Madura dianggap sesuatu yang sangat tabu. Masyarakat khawatir tidak akan mendapatkan barokah dari ilmu yang mereka pelajari bila mengeritik gurunya. Masyarakat khawatir akan mendapatkan bala' dan dengan begitu mereka tidak akan selamat dunia-akhirat.

Memerhatikan sikap keberagamaan dan sosial masyarakat Madura memang terasa gelap sekali apalagi bila kita menengoknya dari luar. Tetapi ini tidak berarti kita harus sit and watch saja terhadap apa yang sudah ada. Kemapanan tidak berarti kebaikan. Kemunduran, kejumudan dan ketertinggalan Madura harus segera diarahkan pada kemajuan dan perbaikan. Masyarakat harus segera disadarkan bahwa apa yang kita hadapi sekarang ini bukanlah takdir yang memang sudah terberikan dariNya tetapi lebih disebabkan karna ada yang salah tentang cara kita memahami agama dan menghormati tokohnya.

Menghormati tokoh agama tidak berarti kita harus mengkultuskannya. Menghormati bukan berarti tidak boleh mengeritik. Kritik bahkan sangat berguna agar tidak ada satupun orang yang merasa paling benar sendiri. Tidak ada satupun orang yang kedap kritik. Kritik tidak akan menjatuhkan wibawa, kritik juga tidaklah berdosa. Jangankan pemuka agama, Nabi Muhammadpun selalu dikritik oleh sahabat-sahabatnya apa bila ijtihadnya dirasakan salah atau tidak adil. Semua manusia diciptakan sama di hadapanNya. Semua punya potensi yang sama untuk berbuat baik atau salah.

Dari sini kita bisa ketahui bahwa solusi untuk menghilangkan pikiran konservatif ala masyarakat awam Madura ini adalah dengan pikiran yang realistis dan rasional. Hanya dengan berpikir rasional segalanya akan terlihat clear. Jangan pernah ada perasaan takut untuk menggugat dan mengeriktik selama itu beralasan. Konsep barokah (broka) dan bala' (belet) harus kita tafsirkan ulang dengan pemahaman yang betul-betul kritis dan sesuai dengan konteks kekinian masyarakat. Tokoh agamawan (kiyai) bukanlah pemegang otoritas kebenaran. Mereka juga bukan wakil Tuhan yang berhak memberi manfaat atau mudlarat (bahaya) pada orang lain. Mereka harus ditempatkan lagi pada kedudukannya yang proporsional dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka tak lebih dari hanya sekedar manusia biasa. Bedanya, mereka adalah spiritual leader (pemimpin spiritual) bagi masyarakat di sekelilingnya. Tak lebih!



Tajamu’ Khomis, New Cairo

29 Juli 2007





posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:43 AM  
1 Comments:
  • At July 19, 2010 at 9:10 AM, Blogger Unknown said…

    sy jg px paman yg sangat fanatik thdp kyia tertentu,,,
    sampai2 menyplekan kyi yg lainx...tp itu mmg tradisi orang NU yg sulit dihalgkan "MENUHANKAN KYAI"...
    orang awam tdk akan brpkran sejauh itu zal...
    merka taux kyai ya kyai...
    org yg brkdudukan tggi,,ilmu agamx mumpuni, selalu benar...
    istilah barokah dan bala' mmg sulit dpshkan dri kaum2 pesantren...
    tp jujur, br kali ini sy nemu artikel yg tentux sesuai dg khdpan real dan sy jg mglamix sendiri..jrg2 org mmprhtikan hal sprti ini,,,
    keep writing bro!!!
    I'll be wait 4ur next opinion...!!!

     
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment