Monday, April 23, 2012

Berguru Pada Pengalaman Indonesia
Oleh: Dr. Ammar Ali Hasan*


Pandangan anda tidak salah. Anda akan segera berada di negara muslim terbesar di muka bumi. Ketika anda melihat ruang tunggu bandara yang dipenuhi wanita-wanita gemuk dengan baju yang longgar berarti anda sedang berada di bandara Doha (Qatar), tapi pemandangan yang sama sekali beda akan tampak ketika anda menginjakkan kaki di bandara Jakarta, dengan jalan-jalannya yang lebar dan bersih, dipenuhi lalu lalang mobil-mobil produksi Jepang dengan berbagai jenisnya, anda seperti melihat dunia yang beda dan penuh warna. penghuninya kebanyakan berpostur pendek dan wanita-wanitanya ada yang berpakaian  terbuka dan ada juga yang berjilbab. Rumah-rumah beratap kuat yang melindunginya dari curah hujan sepanjang tahun, gedung-gedung tinggi menjulang tempat kantor dan agen perdagangan global menawarkan jasa pada kelas atas dan menengah. Ya, anda sedang berada di negara yang selalu ingin melepaskan dari keterasingan yang warganya terkenal dengan keceriaan, toleransi dan ketenangan dalam menghadapi permasalahan hidup.

Anda sekarang berada di negara yang pengalamannya perlu ditiru oleh Mesir dalam 60 tahun terakhir dan tentu saja bukan di ribuan tahun lalu ketika lembah nil baru ditemukan. Soekarno serupa dengan Gamal Abdul Nasir ketika memerdekakan negara, membangun, menyebarkan keadilan sosial dengan setumpuk mimpi-mimpinya. Soeharto serupa Husni Mubarok dalam ketergantungan, kelemahan birokrasi dan arogansinya hingga meletuslah dua  reformasi; pertama di tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaannya. Walaupun sisa kekuasaannya masih tampak, tapi rakyat tak henti-hentinya menuntut perbaikan di berbagai bidang baik politik, ekonomi dan sosial hingga terciptalah  reformasi total. Hal itu terjadi ketika militer sedikit demi sedikit menarik diri dari pemerintahan. Adapun reformasi kedua terjadi tahun 2011 ketika tuntutan akan hasil reformasi semakin dipertanyakan. Walaupun hasil itu tidak bisa dibilang sudah final sampai sekarang.

Saya berangkat ke jakarta untuk menghadiri konfrensi ‘Islam, Negara dan Politik’ atas undangan ‘Forum Perdamaian dan Demokrasi’ yang berafiliasi pada Universitas Odiana. Di sana saya mendengarkan penjabaran panjang lebar dari para pakar tentang ‘akulturasi antar islam dan budaya lokal’ dan tentang negara ‘non-sekulerisme dan non-religi yang memberi keseimbangan pada agama dalam hidup dan bukan dalam kekuasaan’. Hal itu mengukuhkan tesis bahwa ‘agama punya kekuatannya sendiri untuk menjaga eksistensinya’, di saat yang sama juga meruntuhkan anggapan umum bahwa ‘agama membutuhkan negara untuk melindunginya’ (negara adalah penjaga agama). Hal tersebut terbukti karna islam tidak masuk ke indonesia melalui penaklukan tetapi dibawa para pedagang dengan tingginya toleransi, argumentasi yang kuat, akidah yang murni yang menyebabkan Islam bisa melindungi dirinya sendiri tanpa bantuan penguasa.

Di indonesia saya melihat keberagamaan yang menyatu dengan perilaku hidup masyarakat dan tidak semata ada di klaim dan bentuk baju. Meski ‘bangsa Indonesia tidak menyatakan (syariat) Islam sebagai asas negara’ tapi di saat yang sama juga tidak ada larangan dalam ‘ penerapan syariat di sebagian daerah negara’. Dengan penerapan yang senada dengan semangat zaman, jauh dari kekolotan pendapat ulama masa lalu atau perdebatan fikih klasik, tapi disajikan dengan formula baru yang sesuai dengan budaya lokal dengan bentuknya yang dahsyat. Singkatnya, Islam di sana disajikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup dan bukan sebaliknya.

Suatu waktu saya sempatkan berjalan kaki sendirian menyusuri wilayah pemukiman miskin di Jakarta. Saya melihat kawasan sederhana dengan jalur aspal yang bersih. Wanita-wanita bebas menaiki sepeda motor tanpa rasa takut diganggu, dilecehkan atau dinilai tabu. Pohon-pohon rindang berjejer mengelilingi rumah-rumah dan di setiap tempat saya selalu melihat wajah-wajah murah senyum yang membuat saya tidak merasa seperti orang asing. Islam di sini benar-benar larut di tiap nafas masyarakat tanpa gembar-gembor, tanpa penampilan yang menipu sedang asasnya rapuh. Suara adzan subuh membangunkan kita dengan tenang dan khusu’, berkumandang merdu semerdu nada khas Mesir yang sedang dilantunkan santri-santri putri al-Azhar yang sedang saya ridukan di seberang sana.

Meskipun anggota ormas NU di Indonesia mencapai 45 juta dan Muhammadiyah 35 juta tapi keduanya tidak pernah mewajibkan anggotanya untuk mencoblos wakilnya dalam setiap pimilihan atau memaksakan asas ‘tunduk dan taat’ (sami’na wa atha’na), karna mereka sangat menjunjung tinggi hak pilih pribadi. Kedua ormas ini lebih menekankan perjuangannya untuk mewujudkan peningkatan spritualitas, moralitas, kohesi keluarga, kepentingan umum dan amal kabajikan.

Negara yang mengapung di atas samudra pasifik ini terdiri dari 13 ribu pulau. Hal itu menyebabkannya kuat dan bukan membuatnya lemah atau mengalami disintegrasi. Karna dia mememiliki rumus hubungan antar populasi yang stabil yang terdiri dari 300 etnis dan 250 bahasa. Lima agama resmi yang diakui pertama Islam (86%), Protestan (5,7%), Katolik (3%), Hindu (1,8%) dan 3,4% menganut kepercayaan lain.
Untuk menyatukan bangsa Presiden Soekarno menjadikan pancasila sebagai asas tunggal negara. Pancasila yang dalam bahasa Arab berarti ‘bahasa pemersatu’ (kalimatun sawa) yaitu: Ketuhanan yang maha esa-Kemanusiaan yang adil dan beradab- persatuan Indonesia- Krakyatan yang dipimpin oleh perwakilan-keadilan sosial bagi selurih rakyat Indonesia.

Dalam perpolitikan Indonesia tidak dikenal monopoli politik, hal itu terbukti di saat pemilu 2009 ketika semua partai mendapat dukungan yang seimbang. Partai Demokrat hanya mendapatkan 20,9% suara dan golkar 14,5 % suara dan begitu seterusnya.

Pemilu berjalan dengan lancar karna jumlah pemilih di setiap komite tidak lebih dari 300 orang. Semuanya diawasi dengan penuh transparansi. Calon presiden harus melalui tes kecerdasan dan juga tes medis yang ketat. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesalahan negara memilih presiden yang ‘kurang berpendidikan’(Megawati) dan yang ‘penglihatannya kurang sehat’ (Abdurrahman Wahid) sejak jatuhnya Soeharto.

Pembaharu Islam, Muhammad Abduh pernah berujar di sela-sela kunjungannya ke Eropa di akhir abad -19 bahwa di Eropa dia menemukan ‘Islam tanpa kaum muslimin’ (Islam bi ghairi muslimin), sedangkan di Indonesia saya menemukan ‘Islam dan kaum muslimin’ (Islam bi muslimin), yaitu masyarakat yang menerapkan Islam secara subtansial dan mencoba berinteraksi dengannya sesuai dengan kebutuhan zaman. Di sana kita tidak akan menemukan jalan-jalan yang penuh sesak dengan laki-laki berjenggot tebal atau wanita-wanita bercadar. Tapi kita akan menemukan Islam dalam tingkah laku agung, sikap berpuas diri, kebanggaan dalam beragama dan kamauan besar untuk terus memperbaiki kondisi di berbagai sendi kehidupan.

*Doktor Cairo University, peneliti Ilmu sosial dan politik, penulis di harian al-Ahram (Mesir), al-Ittihad (Uni Emirat), al-Syarq al-awsat (Mesir), Shud al-balad (Libanon), al-Quds al-Araby (London)
-Diterjemahkan oleh Syaifullah Rizal Ahmad dari artikel Dr. Ammar Ali Hasan di website www.almasryalyaum.com, Senin 16 April 2012 dengan judul ‘al-Tajribah al-Indonesiah’ 
posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:30 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment