Saturday, November 6, 2010
Pasti Ada Jalan, Kawan...!!
(Calon Jamaah (Gagal) Haji)

Saya bisa membayangkan apa yang ada di benak raja Saud ketika bermaksud merebut kawasan hijaz (Mekah-Madinah) dari kekuasaan Turki Usmani dengan bantuan Inggris pada tahun 1803 dan 1804 H. Hijaz adalah jantung dunia muslim. Para jamaah haji yang masuk kawasan hijaz (sekarang lebih populer dengan sebutan Haramain) untuk melaksanakan ritual ibadah haji adalah sumber uang yang tak kan pernah putus setiap tahunnya (waktu itu belum ditemukan sumber minyak di sana).

Saat mendengarkan kata ‘haji’ ini seseorang mungkin akan tersenyum karna membayangkan akan bisa berdoa langsung di mesjid tersakral di muka bumi dan merasakan aura spiritual yang dahsyat sedangkan yang lain bisa saja tersenyum karna membayangkan lembaran-lembaran reyal yang rapi dan kaku yang akan memenuhi saku.
Tak hanya pihak kerajaan Saudi yang akan mendapat untung dari pelaksanaan rukun islam ke-5 ini, pengurus penyelenggara ibadah haji dari tingkat kementerian, kedutaan sampai agen-agen travel terkecilpun akan ikut kesimbahan rezeki belimpah.

Tak seorangpun bisa menampik bahwa haji adalah ‘bisnis’ yang menggiurkan. Perputaran uang yang sangat luar biasa deras bisa kita saksikan kalau kita berada di sana pada bulan pelaksanaannya. Mulai dari pengadaan ziarah-ziarah ke tempat bersejarah, pemotongan hewan dam, jasa ‘dorongan’ buat jamaah yang udzur, katering makanan, penjualan baju, aksesoris serta obat khas Arab dan lain semisalnya.

Penekanan bisnis dalam pelaksanaan haji adalah suatu yang tak terhindarkan. Untuk sekedar menyebutkan contoh yang paling tampak: Papan-papan iklan yang bertebaran di jalan-jalan kota Mekah dengan tulisan ayat al-Qur’an dan gambar ka’bah sedang di bawahnya terdapat produk-produk iletronik (camera) yang ditawarkan, penulisan nama-nama travel di seragam-seragam jamaah haji, di pinggir kain ihramnya dan di tas-tas yang mereka bawa, perbedaan pelayanan (lebih tepatnya baca:perlakuan) terhadap jamaah haji yang bergelar ‘haji plus’ dengan jemaah ‘quota reguler’ yang sangat kentara semakin menguatkan bahwa di sana memang ada ‘persaingan’ dan ‘promosi’ dan keduanya adalah inti bisnis. Perlakuan beda pada jemaah (yang semuanya berstatus tamu Allah) diukur dari beda jumlah rupiah yang dikeluarkan!

Belum lagi ‘rahasia-rahasia umum’ tentang permainan jual beli kuota, ‘pelicin’ untuk urusan-urusan belakang meja yang mandeg, tambahan-tambahan biaya dari oknum-oknum penyelenggara untuk pengadaan seragam, buku panduan, suntik imunisasi dan lain-lain.

Kuatnya penekanan bisnis haji ini membuat sebagian orang sangat terbelit dan menjadikannya sebuah ketergantungan. Penyelenggaraan haji bisa dikatakan ‘bisnis suci’ yang minim kontrol. Saya sebut bisnis suci karna mereka (memang) membantu para jamaah yang punya niat suci menjalankan ibadah, pesan tersirat dari al-Baqarah:198. Minim kontrol karna semua pihak merasa hanya bertanggung jawab langsung pada Allah. Keluh kesah, protes, kekecewaan dan komplain atas pelayanan yang buruk dari jamaah bisa diredam hanya dengan menjelaskan isi surat al-Baqarah:197, bahwa bagi orang yang menjalankan ibadah haji dilarang berdebat, saling curiga dan buruk sangka terhadap sesama. Jamaah yang berangkat dengan kepasrahan total untuk ibadah itupun akan mudah menurut apa lagi banyak di antara mereka yang percaya bahwa apapun kejadian yang menimpa mereka di tanah suci adalah bentuk hukuman dosa-dosa mereka selama di tanah air.

Bisnis ibadah yang sering dilegitimasi ayat suci ini tidak serta merta menjadikan penyelenggaranya suci. Bertanggung jawab langsung pada Allah tidak lantas membuat mereka bersih dari nafsu berlebih untuk mengeruk untung. Penyimpangan, ketidakbecusan, kesemrautan bahkan penipuan adalah hal wajar kita saksikan setiap tahun penyelenggaraannya. (ingat lagi tentang kasus Dana Abadi Umat (era Orba), jamaah mati kelaparan di wukuf Arafah (2007), pemondokan yang tak layak dan jauh dari mesjid Haram (2008-2009).

Untuk mukimin Arab Saudi (biasanya para TKI) musim haji adalah musim hujan riyal. Bekerja di satu musim haji bisa bisa setara dengan satu tahun gaji. Apapun mau mereka kerjakan asal bisa menghasilkan riyal. Karnanya, tak jarang saya temukan mukimin -yang dalam kesehariannya suka bermain togel dan tidak pernah sholatpun- pada musim haji tiba-tiba berubah menjadi ‘alim’, berjubah, bersurban, tiba-tiba fashih melafaldzkan hadits dan ayat suci semata untuk mendapat simpati dari para jamaah haji. Biasanya mereka berbaur dengan jamaah di sekitar pemondokan dan di mesjid-mesjid, menawarkan jasa pemotongan hewan dam, jasa ‘dorongan’, melaksanakan badal haji bahkan ada juga yang bertujuan menipu.

***
Ada harapan tak langsung dari para orang tua yang anaknya kuliah di Timur Tengah: Suatu saat mereka bisa melaksanakan ibadah haji dengan lebih murah dan lebih mudah dari pada berangkat dari Indonesia. Bertahun-tahun harapan itu memang terbukti benar tapi mulai tahun sekarang harapan itu terancam akan hilang dengan kebijakan dan regulasi baru: Mahasiswa luar negeri yang ingin melaksanakan ibadah haji harus juga mengambil kuota dari negaranya masing-masing.

Langsung terbayang di benak saya betapa ribuan orang yang –kebanyakan dari mereka berusia lanjut- menunggu antrian kuotanya 3 sampai 5 tahun dan sekarang antrian itu akan harus ditambah dengan mahasiswa yang belajar di luar negeri. Lama saya berfikir tentang itu hingga akhirnya saya faham bahwa keadaanya memang benar-benar sudah berubah, kebijakannya berubah. Haji tidak akan semudah tahun-tahun kemaren. Ka’bah dan Mekkah terasa semakin kabur dalam pandangan. Semakin jauh dan makin tak terjangkau.

Di saat yang sama saya bisa merasakan ‘kegelisahan’ teman-teman yang dengan mata berkaca-kaca bercerita tentang kebingungannya walau masih anti-keputusasaan. ‘ Saya yakin KBRI menyayangi kita, mereka pasti bisa melobi semua pihak tuk mendapatkan kuota buat kita. Kalau gagal tahun sekarang tidak harus tahun selanjutnya!’. Gumam mereka menghibur diri.

Setiap tahun penyelenggaraan haji menyisakan ketidakpuasan dan kekisruhan dalam pengurusannya dan bahkan ‘kekisruhan’ itu sendirilah yang menjadi ladang subur untuk dibisniskan. Allah Maha Mengetahui Kebenarannya!

Untuk ka’bah yang terasa makin jauh dan makin tak terjangkau
Untuk harapan-harapan suci yang lambat-laun hilang, menguap dan sirna
Untuk kepentingan-kepentingan bisnis yang makin terasa kuat menjerat
Untuk birokrasi-birokrasi lamban, dengan tataan ‘meja’ yang ‘kaku’ dan tak perlu
Untuk diplomasi-diplomasi yang lemah dengan raut yang makin tak ramah
Untuk keputusan manusia-manusia berkerah rapi-berdasi yang menghasilkan ‘tirani’
Untuk kain ihram yang sudah terlanjur terbeli
Untuk para calon jamaah (gagal) haji’ 2010
Alfatehah…..!!!

Saqqr Quraisy, November 2010
posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 1:06 PM   0 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment