Saturday, November 3, 2012
Menyayangi Bahasa Madura Kita



Seorang keponakan membangunkan tidur nyenyak saya suatu hari. Saat itu habis turun hujan. Tidur sehabis hujan terasa nyaman sekali. ‘’Man… Aufal nginjemmah camera digitallah,ghi?!. Motoah ‘pelangi’!’’.(Paman, Aufal mau pinjam cameradigitalnya,ya!? mau foto pelangi!) kata dia sambil tergopoh.
Dengan sedikit menahan kaget, buru-buru saya memberikan camera. Bukan karna bangun dari tidur nyenyak yang membut saya kaget, tapi kata ‘pelangi’ yang diucapkan Aufal.

Beberapa pertanyaan menjejali kepala saya sejak kejadian sederhana itu. Sejak kapan ‘pelangi’ masuk ke dalam kosakata Bahasa Madura? Apakah bahasa Madura sudah sedemikian sempitnya sehingga tidak bisa menemukan padanan kata pelangi? Apa keponakan saya itu sudah tidak ‘PD’ berbahasa Madura juga seperti teman-teman Madura saya yang kuliah di Mesir? Hingga saya sampai pada kesimpulan serius; Tidak lama setelah ini bahasa Madura akan segera ditinggalkan para penuturnya. Siapa yang bisa menjamin beberapa puluh tahun ke depan keponakan, anak atau cucu kita masih bisa berbahasa Madura dengan baik dan benar? Tidak ada!

Kesimpulan itu saya landaskan dari beberapa kenyataan yang saya jumpai antara lain, pertama, para orang tua sudah tidak lagi bangga mengajari anak-anak mereka berbahasa Madura.
Dalam beberapa kesempatan saya mengunjungi negara di mana para TKI asal Madura bekerja, saya banyak sekali menjumpai mereka tidak lagi menggunakan bahasa Madura dalam percakapan kesehariannya dengan anak-anaknya. Mereka lebih banyak berbahasa Malaysia, Arab (ammiyah) atau bahasa Indonesia. Selain para TKI Madura yang bekerja di luar negeri, para orang tua yang  ‘lebih bangga’ tidak berbahasa Madura pada anak-anaknya adalah orang Madura yang biasanya bekerja di kantor pemerintahan (menjadi guru atau PNS), Meskipun mereka berdomisili di Madura.
Kedua, Penggambaran yang tidak utuh dari media terhadap Bahasa dan orang Madura. Media sukses menggambarkan Madura dengan orang-orang yang berperangai kasar, biasanya  berkumis tebal dan membawa celurit, logat bahasa yang kaku dan penduduk yang miskin. Lihat saja beberapa film yang memerankan orang Madura hanya sebagai penjual rujak (Bok Baria, Si Unyil), tukang jual sate (Cak Kumis, Punk in Love), penjual Ketoprak (Pak Kumis, MESTAKUNG) dan puluhan tayangan-tayangan lainnya yang serupa. Singkatnya, media menggambarkan ‘Orang dan bahasa Madura itu tidak keren!’.
Menurut saya, realita itulah yang menimbulkan ‘kerisihan’ sebagian dari kita untuk menggunakan bahasa daerah sendiri karna khawatir akan ditertawakan. Maka jangan heran, banyak dari orang-orang Madura malu mengakui asal kemaduraannya dan lebih ‘nyaman’ bergaul dan bertutur dengan bahasa daerah orang lain.
Terbukti misalnya beberapa teman kita(Tentunya mahasiswa/i yang masih labil!) yang dengan bangganya berbahasa Jawa atau Sunda pada teman yang sama-sama berasal dari Madura meski dengan logat yang sangat menggelikan.
Terakhir, tayangan yang menjejali anak-anak siang malam. Tentunya semua dari kita sadar, betapa tidak sehatnya acara televise jaman kita sekarang terutama untuk mental anak-anak.
Akhirnya, harus kita ingat lagi bahwa bahasa adalah jatidiri bangsa. Kehilangan bahasa adalah kehilangan jatidiri itu sendiri. Bahasa Madura adalah bangsa Madura itu sendiri. Tidak ada yang bisa menjaganya selain kita sendiri.
Kalau hari ini kita terbiasa mendengar orang bilang, ‘’saya entarah ka romanah kamu nanti’’, ‘‘bapakna kamu akerja apa?’’, ‘’Depornya kamu kok bagus!’’, ‘’pelanginah bagus paman, warna warni!’’, apa yang akan terjadi dengan bahasa indah ini 20 atau 50 tahun ke depan?! Masih adakah yang akan ingat kata andhang, bhudhak, kranjhang, ap sa’aphan, tabuan, titis, kobongan dan ratusan kosa kata Madura asli lainnya yang lambat laun sudah jarang kita pakai karna lebih nyaman menggantinya dengan bahasa Indonesia?!
Saya sangat terkesan dengan satu adegan film Iran pemenang Cannes berjudul ‘Separation’. Di saat ‘galau’ menjalani rumah tangganya yang hamper bubar, seorang diri merawat bapaknya yang menderita Alzeimmer, Seorang ayah masih sempat mendiktekan kepada anaknya kota kata asli bahasa Persia. Tanyanya suatu hari: ‘Apa bahasa persianya kata ‘warranty’ (jaminan)?” Ketika Si anak menjawab, ‘zamanat’ dia malah marah dan mengatakan bahwa Itu bukan kosa kata Persia melainkan kosa kata bahasa Arab, karna ‘warranty’ dalam bahasa Persia adalah ‘poshtvaneh’. Lihat, betapa telitinya mereka menjaga bahasanya dari pengaruh kosa kata bahasa asing!
Seperti di pembukaan tulisan ini, Aufal Mungkin hanya tidak tahu satu kosa kata bahasa Madura, tapi ini juga berarti dia sudah kehilangan satu jatidirinya dan kemudian –dengan bantuan media yang mejejalinya- dia mencoba mengambil dari kepunyaan orang lain yang dia anggap kaprah. Kalau kenyataan ini berkelanjutan, saya menghawatirkan bahasa Madura mulanya akan tercampur baur, lalu menjadi kacau dan kemudian hilang. Yang tersisa mungkin hanya orang Madura yang hanya bisa bilang ‘ enggi, bunten, sakalangkong dan dek remmah’ seperti yang digambarkan film-film itu, tak lebih!.

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 5:53 PM   1 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment