Thursday, June 26, 2008
Al-Ghozali Juga Manusia


' Al-Ghozali adalah manusia biasa. Hormati dia selayaknya manusia biasa ' ( Syaifullah Rizal ahmad)


Bagi sebagian orang pernyataan di atas mungkin dinilai kurang sopan atau berlebihan. Apa lagi bagi orang yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren salaf Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat sebagian 'orang Indonesia' memang sangat (terlalu?) mengagumi pemikir besar islam abad ke-5 Hijriyah ini. Bahkan magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin adalah kitab wajib di sebagian pesantren-pesantren salaf Indonesia.

Pernah sekali waktu seorang teman yang berpikiran agak terbuka berkata pada saya bahwa bagi sebagian orang Indonesia, kitab tershohih kedua setelah al-Qur’an bukanlah Bukhori-Muslim melainkan Ihya’ Ulumuddin. Kemudian teman itu menambahkan, ‘…tapi jangan sekali-kali kamu mengeritik pengarangnya (al-Ghozali) di Indonesia kalau kamu masih ingin selamat!’ Suatu penyataan yang terkesan jenaka tapi membuat saya hanya bisa mengiakan karena setuju untuk selanjutnya mencari lebih banyak referensi tentang pemikiran tokoh agung ini.

Namanya Abu Hamid al-Ghozali. Kisah pengembaraan intelektualnya yang mengagumkan, banyaknya cabang keilmuan Islam yang ia kuasai, perjuangannya yang gigih dalam memberangus praktek Islam menyimpang di zamannya serta kotribusinya yang besar terhadap khazanah pemikiran islam telah membuat dia punya tempat istimewa di hati semua kaum muslim semenjak masa hidupnya sampai sekarang.

Sebenarnya sebelum al-Gozali telah muncul pula beberapa raksasa agung pemikiran dan pembaharu islam seperti al-Haromain (al-Juaini), Qodi al-Baqolani dan juga Abu Hasan al-Asy’ari. Tetapi pengaruh pemikiran mereka bisa dibilang hanya meliputi orang-orang tertentu saja (khowash) sedangkan al-Ghozali meliputi semua lapisan umat Islam secara umum.

Ide dan pemikiran al-Ghozali tak henti-hentinya dikaji di semua pusat kajian keislaman Timur dan Barat, oleh intelektual muslim sendiri maupun para orientalis. Pengaruh dan kontribusi al-Ghozali di dalam dan di luar islam itulah yang membuat dia mendapatkan julukan Sang Hujjat al -Islam (baca:hujjatul Islam), pembaharu islam abad ke-5 H. dan pegiat ilimu-ilmu agama (muhy ‘ulumuddin) di samping kegigihannya memerangi pemikiran-pemikiran sesat yang banyak tersebar di zamannya. Bagi Asya’irah (penganut madzhab kalam Asy’ariyah) kehadiran al-Ghozali adalah sebagai penyempurna argumen Asy’ari yang awalnya terasa gamang dan membingungkan. Demikian juga pengikut thariqah tasawwuf memposisikan Ghozali dalam derajat ‘shiddiqien’ (orang yang telah mencapai derajat kebenaran).

Syeikh al-Azhar, Mustofa al-Maraghi menyebut al-Ghozali sebagai tipe ulama’ All in One; kumpulan beberapa ulama dalam satu orang. Pernyataan yang sama persis pernah dilontarkan pembaharu islam abad -20, Mohammad Abduh karna banyaknya cabang ilmu keislaman yang dikuasai oleh Ghozali. Hasan al-Nadwi menyebutnya sebagai tokoh reformis dan pembaharu agama serta penggerak pemikiran keislaman di masanya. Abbas al- Aqqad berkata bahwa dia adalah seorang filosof yang agung sebelum akhirnya menjadi seorang faqih (ahli fikih), mutakallim (ahli ilmu kalam), dan juga seorang sufi. Dr. Fuad Ahwani menjulukinya sebagai bapak ilmu psikologi islam. Dan tak terbilang lagi pujian untuk al-Ghozali sejak dari ulama di masanya sampai kontemporer yang menandakan ketinggian posisinya dalam dunia pemikiran islam.

Al-Ghozali adalah pemikir islam yang independen. Dia terkenal sangat menolak untuk bertaklid. Dalam setiap permasalaan dia selalu menerapkan metode ‘meragukan’ dan curiga (syakk) untuk kemudian menganalisa lebih lanjut sebelum memutuskan benar-salahnya. Oleh karna itu –meskipun dia bermadzhab Syafi’i- tidak jarang dia merojihkan (mengunggulkan) pendapat imam Malik dalam satu masalah dan bahkan juga merojihkan pendapat imam Hanafi dalam hal lainnya. Metode ‘meragukan’ (al-Syakk al-Manhajy) al-Ghozali inilah yang akhirnya disebut-sebut telah mempengaruhi bapak filsafat modern, Dikart seperti yang ditulis DR. Hamdy Zaqzuq dan juga diakui oleh Orientalis kawakan Ernest Renan dan Kar de vo.

Selain itu, al-Gozali terkenal sangat getol mengeritik para penguasa yang otoriter di masanya. Dia juga sangat membenci tokoh agamawan yang menggunakan kepintarannya untuk mendapatkan prestasi keduniawian. Dia membagi para agamawan menjadi agamawan dunia (ulama’ al-Dunya) dan agamawan akhirat (ulama’ al-Akhirah). Agamawan dunia adalah mereka yang menggunakan ilmunya untuk mendapatkan harta semata. Biasanya mereka hanya menjadi penjilat para penguasa dan sultan. Pada masa kita sekarang, kritik Gozali tentang ulama’ al Dunya ini makin terasa relevansinya. Tidak jarang kita temukan –di masa kita sekarang- para agamawan yang terjun ke dunia politik praktis dengan menggunakan ajaran agama sebagai legitimasi untuk meraih simpati, jabatan dan harta.

Selayakya manusia biasa, al-Ghozali bukanlah manusai sempurna (ma’shum). Meskipun sebagian orang ada yang terlalu memujinya, tidak sedikit pula sebagian yang mengkritik bahkan mencemoohnya. Bagi pembelanya, Ghozali adalah manusia luar biasa. Muhammad Bin Yahya (salah satu muridnya) menjuluki al-Ghozali sebagai Imam Syafi’i kedua. Bahkan sebagian pengagumnya sampai ada yang megatakan bahwa kitab Ihya’ ulumuddin al-Gozali sudah bisa diserupakan dengan Qur’an (kad al-Ihya’ yakunu Qur’anan). Satu pernyataan yang sangat berlebihan!

Tapi bagi para pengeritiknya, al-Ghozali tidak lebih dari sekedar seorang mujtahid seperti lainnya. Dia punya titik lemah sebagaimana manusia biasa umumnya. Titik lemah al-Ghozali terletak pada penguasaannya yang tidak terlalu dalam terhadap ilmu hadits serta sikap fanatiknya pada metode tasawwuf.

Diantara kritikan yang ditujukan pada al-Ghozali adalah:

pertama, dia tidak begitu teliti dalam berargumen dengan hadits (takhrij al-hadits) sehingga sering mengeluarkan hadits-hadits dengan riwayat dloif (lemah) dalam kitab-kitabnya. Contohnya, dalam bab al-Ilmi (satu bab dalam kitab Ihya’), al-Gozali menguatkan argumennya dengan 55 hadits yang ternyata hanya 13 di antaranya hadits shohih sedangkan sisanya adalah hadit dloif. Al-Hafidz Ibn Katsir berkomentar bahwa di dalam kitab Ihya’ banyak sekali terdapat hadits dloif, maudlu’ bahkan hadits munkar. Dr.Yusuf al-Qardlowi mengatakan bahwa ini (tidak cermat dalam takhrij hadits) adalah salah satu titik lemah al-Ghozali dan juga kebanyakan para sufi.

Kedua, sikap fanatiknya terhadap metode tasawuf . Hal ini disebabkan karna masuknya al-Gozali kedalam dunia tasawuf adalah sebagai ‘pecinta’ dan bukan sebagai ‘pencari’ yang kritis sebagaimana posisinya pada ilmu kalam dan filsafat. Dan semua dari kita tahu bahwa mencintai seringkali membuat orang ‘buta’ dan kehilangan daya kritis. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau al-Ghozali dalam al-Munkidz min al-Dlolal memuji metode tasawwuf ini secara berlebihan dengan mengatakan ‘…. jalan para sufi adalan jalan yang paling benar dan akhlaq mereka adalah akhlaq yang paling suci….. semua gerak-diamnya para sufi –baik yang tampak maupun yang samar- adalah cerbisan dari cahaya kenabian yang tidak satu cahayapun di muka bumi bisa menandinginya….’

Ketiga, al-Gozali dianggap plin plan dalam mengemukakan argumen. Hal ini bisa terbaca dari peryataannya -dalam tahafut falasifah- yang mengkafirkan para filosof karna keyakinan mereka bahwa yang akan di hisab, mendapatkan pahala dan siksa di hari kiamat adalah roh saja bukan jasad. Tetapi di dalam Mizan al-Amal dia mengatakan bahwa keyakinan di atas (ba’st dan hisab hanya roh saja) adalah keyakinan mutlak kaum sufi yang ia kuatkan dalam al-Munkidz min al-Dlolal bahwa keyakinannya adalah keyakinan para sufi. Dalam hal ini Dr.Sulaiman Dunya berkata '..saya curiga al-Ghozali punya dua wajah; mengkafirkan para filosof di satu sisi dan menyetujui pendapat mereka di sisi yang lain'.

Keempat, al-Ghozali tidak pernah membahas dan berfatwa akan wajibnya jihad untuk menggerakkan umat islam dalam perang salib yang terjadi di masanya. fatwa jihad untuk memerangi tentara salib itu bahkan dikeluarkan oleh Ibn Taymiyyah yang datang setelah masa al-Ghozali. Ketika tentara salib telah menduduki Inthokiyyah (daerah di Turki sekarang) tahun 491 H. dan membunuhi ratusan ribu muslim di dalamnya, al-Ghozali bahkan tidak kunjung keluar dari pengasingannya dan tetap asyik dalam khalwatnya sebagaimana umumnya para sufi yang lebih memilih menghindar dari realita sosial dengan segala problematikanya dari pada menghadapi dan mencari solusinya. padahal posisi al-Gozali saat itu sangat penting sebagai ulama besar yang suaranya banyak didengarkan umat dan pengaruhnya sangat kuat untuk memberi semangat pada umat muslim untuk berjihad.

Kelima, sebagian pemikir islam kontemporer ada yang mengatakan bahwa al-Ghozali harus bertanggung jawab atas kemunduran peradaban Islam serta runtuhnya filsafat Islam dikarnakan serangannya yang telak pada inti pemikiran filsafat islam dalam tahafutnya, menggeneralisasi kesalahan para filosof dan mengkafirkannya. Ditambah lagi dalam berbagai tulisannya al-Ghozali selalu menyeru umat untuk selalu hidup zuhud, menghindari keduniawian (mengabaikan kehidupan materi), menyerukan untuk selalu bersikap tawakkal dan mengabaikan hukum kausalitas (sababiyah). Dalam hal yang disebut tarkhir ini al-Ghozali banyak menuai kritik dari para pemikir islam rasionalis.

Tulisan al-Gozali yang menyeru untuk mengabaikan hukum kausalitas banyak ditemui di beberapa bukunya semisal Al-Munkidz min al-Dlolal dia mencoba menjelaskan bahwa naturalisme (thobi’iyyah) tidak punya pengaruh sama sekali dalam kehidupan karna semuanya kembali pada Allah semata. Dalam buku Mi’yar al-Ilmnya al-Ghozali bahkan mengatakan ‘’…bukanlah tusukan yang menyebabkan kematian, bukanlah makanan yang menyebabkan perut kita kenyang dan bukanlah api yang menyebabkan kebakaran tetapi Allahlah yang menjadikannya mati, kenyang dan terbakar….’’. Sangat nyata dalam hal ini bahwa al-Ghozali mengingkari kekuatan akal dalam mencapai kebenaran padahal dalam banyak tulisannya dia selalu menghimbau agar dalam mencari kebenaran kita harus melepaskan diri dari taklid dan bersikap skeptis pada semua hal.

***

Bagaimanapun kita harus tetap tempatkan Ghozali selayaknya manusia biasa. Dia tidak lebih dari sekedar mujtahid seperti yang lainnya yang akan mendapatkan dua pahala bila ijtihadnya benar dan mendapatkan satu apa bila salah. kontribusinya yang agung terhadap khazanah pemikiran islam tidak boleh menjadi legitimasi bagi kita untuk mengkultuskannya. Meskipun begitu berpendapat bahwa dia harus bertanggung jawab atas kemunduran pemikiran filsafat Timur-Islam pada khususnya dan kemunduran peradaban islam pada umumnya juga bukan pendapat yang adil dan bijak. Bagaimanapun kita harus apresiatif pada para pendahulu kita; mengambil dari mereka yang bermanfaat dan masih relevan dan membuang yang tidak berguna. Kita harus tetap mengakui al-Ghozali sebagai 'Guru Besar Umat' (muallim al-Jamahir),raksasa pemikiran islam, imam dan panutan,sufi dan pemikir agung yang selalu skeptis dalam mencari kebenaran, tapi tanpa kehilangan daya kritis terhadap pendapat dan capaiannya. Seperti yang dituliskan oleh al-Ghozali sendiri dalam salah satu bukunya (mizan al amal) ‘...... barang siapa yang tidak meragukan (curiga), maka dia tidak akan menganalisa dan barang siapa yang tidak menganalisa maka dia akan (selamanya) tenggelam dalam kesesesatan dan kebutaan'.

Tajamu’ Khomis, New Cairo, Setelah ujian musim panas al-Azhar,

Pertengahan juni ‘08

Author : Syaifullah Rizal Ahmad

Referensi :

Al-Imam al-Ghozali baina madihi wa naqidihi; Dr.Yusuf al-Qardlowi

Al-Manhaj al-Falsafi Baina al-Ghozali wa Dikart; Dr. Hamdi Zaqzuq

Tajdid Fi al-Madzahib al-Falsafiyyah wa al-Kalamiyyah; Dr. Athif Iraqie

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 6:01 AM   1 comments
Friday, June 13, 2008
Masyarakat Madura dan Hukum Kausalitas


Sewaktu memberi tahu bahwa HP saya dicopet di bis dan mau ganti nomor baru awal Pebruari lalu, ummy mengatakan. ‘.. itu karna sudah waktunya hilang tapi penyebabnya juga karna kamu kurang hati-hati..’

Memikirkan perkataan ummy itu membuat saya sekali lagi ingat tentang konsep takdir yang sampai saat ini masih -dan akan terus- membingungkan. Saya terus membatin, bagaimana mungkin HP itu akan hilang kalau seandainya saya berhati-hati dan menyimpannya di dalam tas yang saya kunci meskipun itu sudah ditakdirkan? Apakah HP itu tidak akan hilang bila saya menaruhnya di tengah jalan pasar salama satu malam jika belum ditakdirkan hilang? Kalau seandainya semua yang kita kerjakan sudah didektekan Tuhan sejak dunia ini belum diciptakan, mengapa Dia juga menyuruh kita berusaha? Mengapa juga Dia memberikan pahala dan dosa ika semua gerak kita adalah juga gerak-Nya? Jadi apa gunanya bergerak (berusaha) kalau kita hanya seumpama bulu di tengah gurun yang hanya pasrah pada gerak angin takdir?

Beberapa hari sebelum berangkat ke Mesir, ummy juga pernah berkata pada saya, ‘’… siapa yang belajar, dialah yang akan tahu. Siapa yang berhati-hati, dialah yang akan selamat. Siapa yang berjalan, dialah yang akan sampai ‘’. Saya selalu renungkan pernyataan itu dan menemukan suatu yang sangat saya percayai; setiap hal yang kita kerjakan semuanya berjalan di atas rel sebab-akibat (sababiyah). Konsep inilah yang tampaknya sekarang agak diabaikan oleh masyarakat .

Hampir tidak pernah saya mendengar beliau mengatakan sesuatu yang tidak dihubungkan dengan penyebabnya. Hal inilah yang selalu membuat saya terbiasa menghubungkan semua yang saya alami dengan penyebabnya pun hal ini juga yang membuat saya punya tabiat pemberontak; saya bisa melakukan apa saja yang orang lain bisa lakukan asal ada keinginan serta usaha; menggugat sifat fatalis (jabary) yang cenderung diterima turun temurun dalam lingkungan keluarga hingga ada satu persepsi dalam keluarga bahwa keluarga kami tidak mungkin bisa sukses (pendidikan dan karier) seperti keluarga orang lain karna itu sudah menjadi doa dari para orang tua dulu.

Sulit saya terima dalam akal sehat, bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal ratusan tahun lalu dijadikan tumpuan kesalahan dari keengganan (kemalasan?) berusaha dari anak turunnya?

***

Ummy saya bukanlah seorang yang suka membaca. Tingkat pendidikan beliau rendah meskipun tidak bisa diketegorikan sebagai ummiah (buta huruf) karna beliau bisa membaca huruf Arab dan ayat Qur’an.

Beliau juga tidak mungkin mengenal apa itu konsep takdir, jabariyah, qadariyah, Asy’aryah, Mu’tazilah dan lain sejenisnya. Meskipun begitu, ini tidak serta merta menjadikan beliau menjadi orang yang fatalis dan gampang menyerah pada keadaan.

Tampaknya beliau tidak perlu teori ulama klasik untuk mengetahui konsep takdir yang relevan untuk permasalah jaman yang sedang dihadapinya sekarang. Beliau cukup mengetahuinya dari pengalaman hidup yang diterima secara natural, ditambah dari filsafat dan pesan-pesan orang tua Madura yang diterima secara turun temurun.

Dalam hal bekerja dan mendapatkan rizki misalnya, beliau biasanya berpesan, ‘’… alakoh cong polanah lo’ kerah bedeh pangeran lu-jhuluh pesse..!’’. ( kerja nak, karna Allah tidak akan mengulurkan tangan-Nya memberikan uang pada mu)

Ummy –sebagaimana umumnya masyarakat Madura- juga terkenal benci tidur pagi. Sangat aib sekali dalam lingkungan Madura bila ada anak yang suka tidur pagi. Karna pagi adalah waktunya berusaha dan bekerja.

Sebenarnya keadan sepeti itu sangat baik. Tetapi yang menjadi kekurangan adalah kebanyakan dari mereka (arang Madura) tidak pernah kembali ke Madura bila sudah sukses di rantau. Setelah menjadi ‘orang besar’ Politikus, intelek, pemikir dan penulis mereka seakan malu (todus) menampakkan identitas ke-Maduraannya alih-alih mau membangun Madura dengan keahlian dan disiplin ilmu yang mereka bidangi.

***

Konsep takdir anti fatalistis inilah yang saya rasa sangat relevan diterapkan di masa kita sekarang. Ketika umat terlelap dalam tidur panjang, malas berpikir, berkubang dalam lubang gelap taklid, terkepung dalam jerat kemiskinan, kebodohan, kemunduran, keterbelakangan dan lain semisalnya, kita butuh orang-orang yang berani memberontak pada keadaan; menolak untuk menjadi korban teks dan korban konsep takdir yang hanya menyebabkan kita menjadi ‘loser’.

Para fatalis umumnya percaya bahwa semua yang mereka alami adalah sudah terberikan (given) dari Tuhan sehingga tidak begitu menaruh harapan besar pada hasil dari sebuah usaha. Hal ini berdampak pada kepercayaan mereka bahwa kekalahan, kemunduran dan ketertinggalan di segala dimensi kehidupan yang sekarang diderita umat Islam juga suatu yang telah ditakdirkan dan bukan karna kelemahan serta kesalahan. Kepercayaan semacam inilah yang semakin membuat umat terus lelap dalam tidur panjang ketertinggalan (takhalluf).

Untuk merubah keadaan ini tentu bukanlah hal yang mudah tetapi juga bukan suatu yang mustahil. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan keyakinan bahwa kita bisa melakukan apa saja yang kita mau asal hal itu bisa dicerna dalam hukum kausalitas (sababiyah). Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini –meskipun itu takdir Tuhan- yang tidak tunduk pada kekuatan hukum itu. Hingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa takdir Tuhan adalah juga hukum kausalitas itu sendiri.

Batu yang dilempar pasti akan jatuh ke bawah, Kertas dibakar pasti akan hagus terbakar, ayam yang dipotong lehernya pasti akan mati, seorang yang berjalan ke suatu tempat pasti lambat laun akan sampai, begitu juga jika umat muslim berusaha megejar ketertinggalannya dibanding umat-umat lain pasti suatu saat mereka akan bisa menjadi pemenang di segala bidang seperti masa jayanya dulu. Semua itu sudah menjadi ketetuan hukum alam; sunnatullah yang tidak siapapun bisa mengganti atau merubahnya. Wa lan tajida li sunnatillahi tabdîlâ!!!

Tajammu’ Khomis, New Cairo

Menjelang ujian musim panas (term 2) al-Azhar, Mei 2008

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 11:36 AM   1 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment