Thursday, April 3, 2008
Membuka (Kembali) Pintu Ijtihad

‘’ ketahuilah wahai kawan. Jika engkau ingin mengetahui kebenaran melalui seorang agamawan tanpa membuka mata, maka usahamu ini akan sia-sia. Karna seorang agamawan itu(hanya) seumpama matahari yang memancarkan sinar kemudian dengan sinar itu kau mampu melihat. Jika matamu buta, tentu tidak bergunalah sinar itu. Maka barang siapa yang lekang pada taklid maka dia berarti telah rusak total’’

( Abu Hamid al-Ghozali dalam Mi’roj as-Salikin)



Salah satu karakteristik unik islam adalah sifat ajarannya yang syumuliyyah. Yakni islam sebagai agama tidak hanya menekankan sisi penting kehidupan akhirat saja tetapi menganjurkan pemeluknya untuk tidak melupakan kehidupan dunia. Islam tidak hanya mengajarkan doktrin aqidah tetapi juga syariah pun juga peradaban.


Dalam rentang sejarahnya umat islam tidak pernah berselisih bahwa ushul aqidah itu adalah iman pada Allah, malaikat, kitab suci, para rasul dan pada hari pembalasan. Dan rukun islam yang berisi: Syahadat (laa ilaha illallah Muhammad rasulullah), menegakkan sholat, puasa di bulan Ramadlan, naik haji bila mampu telah disepakati umat islam tanpa memandang perbedaan masa dan tempat. Dalam hal ini umat islam dipuji al Qur’an sebagai ummat yang satu (ummatan wahidah).

Adapaun mengenai syariah yang berkaitan dengan masalah keduniawian (hal ini sering berkaitan dengan fikih) tentu saja umat islam tidak bisa disebut satu. Hal ini disebabkan karna syariah terikat dengan kondisi (dluruf, sosio-kultural) yang melingkupi letak geogafis di mana umat islam itu berada.

(Syariah) islam bukanlah benda baku yang kedap pada perubahan dan modifikasi. Syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran serta produk pengalaman manusia yang mempunyai konteksnya tersendiri.

Islam adalah agama yang hidup bersama manusia. Jika manusia adalah makhluk yang selalu berkembang secara terus menerus mengikuti perubahan masa, maka konsekwensi logisnya adalah islam itu sendiri akan juga berkembang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di mana dia dianut.

Gambaran singkat di atas hanya ingin menyadarkan kita bahwa tafsir keagamaan (baca:fikih) akan berbeda bila difahami satu generasi dan generasi lainnya. Fikih adalah salah satu tafsir terhadap teks keagamaan yang rentan terhadap perubahan karna ia terikat dengan perubahan kondisi, tempat maupun masa di mana ia ditafsirkan. Dan di sisi inilah pentingnya terobosan inofatif-teologis (ijtihad) yang dilakukan para mujtahid untuk merespon problema masyarakat serta membumikan ajaran-ajaran islam.

Ijtihad punya peranan sentral untuk menangkap pesan ajaran islam. Keberadaannya sangat urgen di setiap masa sebagai ‘anti virus’ terhadap penyakit yang bernama taklid . Seorang filosof dan pemikir islam modern, Mohammad iqbal menggambarkan urgensi ijtihad ini dengan mengatakan ‘ ijtihad adalah intisari pergerakan islam’. Dengan kata lain, islam tanpa ijtihad adalah stagnan, beku dan mandul. Seperti badan tanpa jiwa.

Ijtihad tidak hanya terbatas pada permasalahan fikih an sih, tetapi menyangkut permasalahan hidup secara keseluruhan. Dalam setiap masa umat mempunyai problematika tersendiri dan juga punya solusi tersendiri untuk problematika tersebut. Banyaknya literatur tentang fikih serta pendapat yang beraneka ragam di dalamnya memberi isyarat pada kita bahwa setiap zaman punya mujtahidnya sendiri. Berbagai produk hukum fikih tidak terbentuk begitu saja secara bebas ‘ruang dan waktu’. Madzhab-madzhab fikih yang kita kenal sekarang itu tidak lebih hanyalah produk intelektual para mujtahid untuk merespon problem-problem sosial masyarakat yang terjadi saat madzhab itu terbentuk, dengan didukung pula oleh kekuasaan (Negara) yang seideologi dengan mereka. Oleh karna itu, taklid pada satu pendapat madzhab dan cenderung menyalahkan pendapat madzhab lainnya tentu saja satu tindakan yang kurang bijaksana. Apa lagi taklid itu berada dalam tataran pengkultusan satu imam madzhab dan pendapatnya.

Sejatinya berijtihad dan penggunaan terma ijtihad telah ada di masa generasi awal agama islam, bahkan di zaman hidupya Nabi. Satu hadits menceritakan pada kita bahwa menggunakan rasio untuk menentukan satu hukum yang tidak terdapat nashnya yang qath’i tidaklah dilarang. Ketika Nabi bermaksud mengutus Muad bin Jabal ke daerah Yaman, Nabi bertanya padanya, ‘’ Bagaimana cara kamu menetapkan hukum nanti?’’. Muad menjawab, ’’ Akan ku tetapkan sesuai dengan kitabullah (Qur’an), ‘’kalau tidak kau temukan?’’, ‘’ Maka dengan sunnah Rasul-Nya.’’, ‘’ Kalau tidak kau temukan? ‘’, ‘’ Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’.

Dengan jawaban itu Rasul tampaknya sangat merestui metode Muad ini. Dengan nada puas beliau berkata, ‘’ Segala puji bagi Allah yang telah menyesuaikan utusan (Muad) pada apa yang direstui Allah dan RasulNya’’.

Dari hadits di atas, jelas tampak bagi kita bawa ijtihad sudah dimulai di masa Rasul bahkan di saat al-Qur’an belum sempurna diturunkan. Sabda Nabi ‘ jika tidak kau temukan’ (fa in lam tajid) jelas memberi isyarat bahwa tidak semua permasalahan ummat ini ada solusinya di dalam Qur’an dan sunnah. Teks-teks agama itu begitu terbatas sedangkan permasalahan tidak terbatas. Maka di sinilah pentingnya ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menentukan satu hukum untuk menyelaraskan ajaran islam dengan setiap tempat dan masa dengan berbasiskan kemaslahatan dan rahmat.

Islam tidak pernah mengajajarkan pemeluknya untuk tenggelam dalam fanatisme berlebihan dalam mengambil satu pendapat. Semua orang boleh diambil atau dibuang pendapatnya kecuali Sang pembawa risalah (Muhammad saw). Islam mengajarkan untuk selalu mencari kebenaran sekuat kemampuan manusia dan hanya Allah sajalah yang mengetahui hakikat kebenaran itu.


Kita umat islam percaya bahwa belum ada pendapat keagamaan yang dianggap final, mutlak dan absolut. Akan selalu ada terobosan-terobosan baru yang akan dibawa oleh para mujaddid dan mujtahid, yakni para mujtahid yang berani menggugat untuk mendobrak kembali pintu ijtihad yang (katanya sudah ) tertutup. Sang Nabi agung telah membuka pintu ijtihad dengan selebar-lebarnya 14 abad silam dan tidak seorangpun yang punya otoritas untuk menutupnya. Hanya dengan ijtihad islam akan mampu menjadi agama yang dinamis dan responsif terhadap permasalahan dan tantangan jaman di semua tempat dan masa di mana ia dianut. Sesuai dengan slogan syariat islam sholih likulli zaman wa kulli makan.


Tajamu’ Khomis, New Cairo


posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 2:58 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment