Sunday, August 22, 2010
FASTING FOR FOOD
Ada fenomena janggal biasa kita temukan tiap kali ramadlan yaitu peningkatan pola konsumsi dan belanja masyarakat muslim dibanding hari-har ibiasa. Hal ini terjadi setiap kali bulan puasa di semua negara berpenduduk mayoritas muslim dan tidak bisa dielakkan . Implikasi dari peningkatan konsumsi dan belanja ini adalah juga naiknya harga-harga di pasar untuk selanjutnya berimbas pada meningkatnya tindak kriminal dan kejahatan.

Adalah ironis disaat kita seharusnya menahan diri tapi yang terjadi malah sebaliknya.Bila kita bisa lihat menu makanan kita di bulan puasa dan membandingkannya dengan hari-hari biasa pasti akan terasa perbedaan yang jauh. Beraneka makanan selalalu siap terhidang mulai dari makanan berat, ringan, manisan, buah-buahan dan lain semisalnya. kadang makanan-makanan yang kita siapkan untuk sekali berbuka itu bisa menjamin perut kita selama 2 atau 3 hari di luar ramadlan dan bahkan tidak jarang kita harus membuang sisanya karna dianggap tidak layak dimakan waktu sahur. Berlebihan (israf) dalam makanpun menjadi kebiasaan rutin. Malas karna kekenyangan tak jarang menjadi 'guyonan' sehari-hari di bulan suci ini.


Kadang saya sering bertanya, apakah ini memang karna berkah puasa ataukah memang tabiat kita untuk teelalu mengistimewakan(memanjakan?) perut dengan makanan berlebih karna merasa sudah menahan lapar selama sehari penuh? Kalau memang karna berkah Ramadlan, pastinya dibulan Ramadlan umat muslim tidak perlu tambahan uang belanja dibanding hari-hari biasa. Tak perlu juga ada pertanyaan, ''...Eh, pinjem duit dong,bentar lagi bulan puasa ni!,''.

saya cenderung curiga bahwa peningkatan konsumsi di bulan puasa itu lebih disebabkan karna sesuatu yang sudah kita anggap 'kewajaran' dan akhirnya menjadi gaya hidup.


Kita pasti sepakat bahwa subtansi diwajibkannya puasa adalah melatih seseorang untuk lebih mampu menahan nafsu dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama (yang kelaparan). Tentu yang dimaksud nafsu di sini bukan hanya nafsu birahi saja melaikan juga nafsu konsumsi. Alih-alih melatih untuk terbiasa 'imsak' (menahan diri dari nafsu), bulan puasa (terutama saat lebaran tiba) tidak ubahnya hanya seperti even 'festifal konsumsi' di mana umat muslim berlomba-lomba untuk memenuhi nafsu konsumsinya sepuas mungkin hingga terkadang lupa bahwa di bagian daerah yang lain masih banyak orang yang 'mati-matian' menghemat pengeluarannya hanya untuk bertahan hidup bahkan ada yang mencoba bunuh diri hanya karna terbelit hutang sebesar 20 ribu rupiah (detik.com, 11-08-2010).



Konsumerisme Islami?


Kewajaran umat muslim dalam mengonsumsi barang secara berlebihan saat Ramadlan seperti yang saya sebutkan di atas tidak lain adalah dampak dari sitem ekonomi kapitalis. Sebagai bentuk paling mutakhir dalam sistem ekonomi, budaya kapitalisme telah mengendap di alam bawah sadar masyarakat dunia tak luput juga dalam masyarakat muslim. Kapitalisme yang menempatkan 'konsumsi' sebagai titik sentral kehidupan bermasyarakat di setiap tatanan sosial dimana dan kapanpun telah menjadi 'nilai' baru yang diserap tanpa rasa curiga sedikitpun.


Umat muslim diposisikan sebagai 'objek empuk' untuk menerima semua yang ditawarkan pasar dalam memenuhi semua kebutuhan hidupnya. utamanya di bulan Ramadlan, pelaku pasar menjadikan umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa sebagai 'konsumen potensial. Serbuan iklan di media cetak dan eletronik yang tiap hari dijejalkan semakin membuat umat muslim semakin 'terangsang' untuk selalu membeli dan terus membeli.


Untuk meraup untung besar di bulan Ramadlan, penyelenggara pasar (kapitalis) itu biasanya mengemas iklan-iklannya dengan nuansa 'religius'. Di saat itulah sesungguhnya masyarakat muslim dibuai untuk lebih mudah menerima perilaku konsumtifnya itu sebagai satu kewajaran, pun di saat yang sama mereka seakan diberi satu 'pembenaran' bahwa perilaku konsumtif itu islami, at least tidak bertentangan dengan ajaran islam.


Bulan Ramadlan seakan menjadi ajang yang tepat untuk melegtimasi masyarakat muslim untuk berprilaku konsumtif dengan mengarahkan mereka pada satu keadaan seakan-akan perilaku konsumtif ini bisa mendorong mereka untuk mememenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaniahnya selama menjalankan puasa. Adapun yang sangat disayangkan adalah kurangnya kesadaran umat muslim bahwa memang adapihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momen puasa ini demi tujuan-tujuan mereka.


Puasa hendak mengajarkan kita untuk menahan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Puasa juga mengajak kita untuk membebaskan diri dari semua bentuk kebutuhan simbolik (badaniah) menuju kebutuhan yang subtantif (rohaniah). Puasa bukanlah waktu bagi umat muslim untuk memenuhi nafsu konsumtifnya yang tanpa batas dengan berdalihkan 'kewajaran'. Puasa adalah latihan khusus untuk 'menahan diri dari nafsu' agar akhirnya terbebas dari semua bentuk kebutuhan simbolik itu.


Puasa membutuhkan pengurangan atau penyederhanaan (Dalam bahasa al-Ghozali:taqlil) bagi kita dalam memenuhi kebutuhan konsumsi di banding hari-hari selainnya. Jangan pernah memposisikan puasa hanya sebagai 'penundaan' waktu makan apa lagi 'pengelipatan'; menunda sarapan, makan siang dan makan malam pada satu waktu selepas adzan maghrib dan membuat kelipatannya (mengulanginya) setelah itu dengan beraneka jenis makanan yang dijejalkan secara terus menerus oleh iklan-iklan kapitalis dengan mengatasnamakan agama.

Wallahu a'lam bi al-showab......



Saqqr Quraisy, Hayy el Asyir Cairo

Hari ke-10, Ramadlan 1431 H, ketika ku melihat dr flatku seorang pemulung sedang mengorek tempat sampah 3 jam sebelum saat buka puasa sedangkan di saat yang sama kubayangkan meja-meja makan umat muslim yang penuh sesak dengan aneka jenis makanan menjelang buka puasanya.
posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 6:54 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment