Tuesday, April 22, 2008
Nurani untuk Poligami

Suatu pagi saat liburan sekolah saya mengantar ummy belanja di pasar dengan mengendarai sepeda motor. Senang sekali rasanya melihat suasana desa yang saya tinggalkan selama lebih setengah tahun. Saat melewati desa tetangga, saya melihat rumah yang dalam pikiran saya agak aneh. Rumah itu besar tapi tidak selesai dibangun dan dibiarkan begitu saja. Sayapun menanyakannya pada ummy tentang rumah itu. Ummy akhirnya menceritakan panjang lebar tentang rumah yang tidak jadi dibangun itu. Itu adalah rumah yang dibangun seorang kyai di Bangkalan (kota kabupaten saya) untuk istri barunya, tapi sekarang istri itu dia ceraikan tanpa alasan jelas dan rumah yang rencananya akan diberikan untuk si istri itu urung dia bangun. Sekarang Si istri hidup sendiri dengan seorang anakya yang masih kecil.

Sebagai seorang perempuan, ummy pasti tahu persis perasaan istri baru sang kyiai terebut. Bagimana rasanya menjadi istri ke dua (atau bahkan ke-3), hidup sembunyi-sembunyi (karna tidak tenang) dari (terror)istri tua, dikunjungi suami hanya apabila dia sedang mood untuk ‘bermain’ dan dicerai ketika melahirkan anak pertama. Maka dari itu, ummy terkesan agak emosi ketika bercerita sehingga di akhir ceritanya beliau mengatakan, ‘’… tadek kiyaeh tadek sapah, mon denbeden, dusah kiyah!’’ (Tak pandang kyai atau siapa, kalau berbuat suatu yang tidak benar, dia juga berdosa!)

Dalam kasus poligami, wanita memang lebih gampang berempati dibandingkan lelaki. Selain karna perasaan wanita memang lebih peka juga karna kaum wanitalah yang menjadi korban. Mereka lebih mengedepankan hati nurani dari pada menerima legitimasi teks agama (Qur’an, hadits dan kitab-kitab turats) yang memang banyak digunakan para agamawan untuk mendukung kebiasaannya ini.

Mengedepankan nurani dalam semua hal memang banyak dilupakan orang akhir-akhir ini. Salah satu contohnya adalah dalam kasus poligami ini.

Sekali waktu pernah seorang nenek curhat pada saya tentang anaknya yang dimadu oleh menantunya. Dengan geram dan marah nenek itu bercerita sambil menangis. Dia mengatakan, sebagai ibu dia tidak tega membayangkan betapa sakit hati anak perepuannya. Dia juga mengatakan dengan nada sinis ‘ nyaman yeh daddhih reng lake’?!’ (enak benar jadi laki-laki!)

Sewaktu duduk di bangku kelas 3 MAN, saya juga punya teman yang kakak perempuannya menjadi istri muda seorang kyai. Dia sering mengatakan bahwa kakaknya tersebut tidak pernah mendapatkan hak selayaknya istri. Dia hanya dikunjungi sang kyai hanya apabila sedang suci dari haidl selebihnya sang suami bagaikan orang lain dalam kehidupannya bahkan untuk anak-anaknya sendiri. Setiap kali mendengar ceritanya tentang kehidupan kakak perepuannya, saya selalu merasa sedih, tidak tega, ingin berteriak marah, berontak, mengggat dan lain semacamnya. Sehingga saya sampai pada satu azam bahwa suatu hari nanti saya harus merubah keadaan (kebiasaan)ini, minimal mengeritiknya. Meskipun dengan itu saya akan terkucilkan dari lingkungan saya karna dianggap orang yang lancang dan kurang ajar.

***

Bila saya katakan, ‘buanglah dulu keterikatan kita pada teks-teks agama dalam kasus ini’, bukan berarti saya tidak percaya pada teks-teks itu. Tapi saya selalu berfikir, apakah hanya dengan membacakan teks-teks itu lalu serta merta masalah menjadi selesai? Apakah dengan legitimasi teks-teks itu semua praktek poligami itu mejadi baik dan terpuji? Apakah semua sighat amar (bentuk kata perintah) di dalam al-Qur’an berarti kewajiban bagi kita? Bukankah ayat poligami itu terikat juga dengan sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan tidak bisa kita ambil secara sepenggal-sepenggal? Bukankah syariat islam punya maqashid kemaslahatan dan rahmat bukan untuk menuruti nafsu dan mencari kesenangan?

Cobalah kita pikirkan dengan hati jernih, akal sehat dan nurani yang tulus bagaimana perasaan kita bila istri kita pamit untuk bersuami lagi. Bagaimana perasaan kita bila anak gadis kita ternyata dimadu oleh menantu kita. Jikalau kita tidak rela istri kita (maaf) tidur dengan laki-laki lain begitupun juga istri kita tidak rela kita tidur dengan wanita lain. Bukankah ini logis?!

Ayat yang biasa dibuat alat pembenar praktek poligami adalah ayat ke 3 surat al-Nisa. Ayat itu diturunkan ketika umat muslim mengalami chaos akibat perang. Banyak anak yatim dan janda-janda yang terlantar akibat suaminya menjadi syahid di perang. Maka Allah memerintahkan umat islam agar memerhatikan hak-hak anak yatim dan juga mengawini wanita-wanita yang halal bagi mereka dua, tiga, atau empat orang jika mereka merasa yakin akan bisa berbuat adil dalam memberikan hak-hak para istri dan juga yatim itu. Tetapi jika tidak, maka umat muslim diperintahkan untuk menikahi seorang istri saja (monogami) karna itu adalah jalan satu-satunya untuk tidak berbuat dlalim pada para istri itu.

Dari gambaran di atas kita bisa fahami bahwa format ideal kehidupan berumah tangga adalah monogami.

Tetapi dalam kenyataan dan prakteknya, ayat itu sering disalah tafsirkan. Para pemuka agama sering hanya mengambil penggalan dari ayat utuh itu dan menafsirkannya secara tekstual (harfiyah). Sehingga jadilah ayat itu seperti perintah untuk semua laki-laki muslim untuk menikah lebih dari satu tanpa memikirkan konsekwensi dan syarat-syaratnya. Ditambah lagi dengan kultur dalam masyarakat yang berpanutan pada tokoh agama (baca:Kyai) secara membabi buta. Dalam pandangan masyarakat awam, kyai seperti dianggap mempunyai kelebihan hingga tingkah laku dan ucapannya dianggap kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

***

Sang Nabi agung saw pernah besabda, ‘istifta’ nafsak!’ (bertanyalah pada hati nuranimu). Menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam beragama dan menafsirkan teks-teks keagamaan sudah menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar di masa kita sekarang. Selain untuk menghindari diri kita dari menjadi pemuja teks, korban teks atau bahkan budak teks, hal itu juga berguna untuk menjadi tolok ukur kebenaran dan kebaikan. Sehingga kita akan menjadikannya sebagai nilai dan standard untuk mengukur baik-buruk pekerjaan seseorang.

Siapapun itu termasuk para agamawan harus kita posisikan kembali sebagaimana mestinya. Mereka adalah juga manusia biasa yang tidak bisa luput dari dosa dan salah. Mereka bukan Tuhan bukan juga Nabi yang mengetahui hakikat kebenaran atau sesuatu yang akan terjadi nanti. Membiarkan mereka berbuat semaunya tanpa ada keberanian mengeritik hanya akan semakin membuat mereka bertambah congkak dalam posisinya. Jika ini kita biarkan, sejarah revolusi gereja di Prancis bukan tidak mungkin akan juga segera terjadi di Madura. Ketika para rijaluddin (pemuka agama) hanya menjadikan ajaran agama sebagai legitimasi perbuatannya (kesenagannya) yang bertentangan dengan akal sehat, mengabaikan hati nurani dan menginjak nilai-nilai kemanusiaan. Tinggal menunggu masa yang tepat untuk menyaksikan seorang Martin Luther yang akan menyadarkan mereka dari kecongkakannya.

Dengan cara ini tidak akan ada lagi seseorang yang mentang-mentang merasa sebagai penguasa ajaran islam tapi perbuatannya menyalahi ajaran islam itu sendiri.

Adalah salah jika menikahi banyak istri seperti yang dipraktikkan Rasul dikatakan sebagai sunah. Nabi menikahi mereka bukan untuk bersenang-senang tapi untuk menolong mereka dari menjadi janda terlantar dan untuk perluasan dakwah islam yang waktu itu memerlukan banyak dukungan dari suku-suku bangsa Arab yang suka berperang satu dengan lainnya.

Kalau kita komparasikan praktek poligami yang dipraktekkan Nabi dengan tokoh agama yang ada di sekitar kita sekarang, kita akan segera melihat kesenjangan. Para agamawan itu biasanya berpoligami hanya atas dasar mecari kesenangan (kepuasan?). Mereka menikahi anak-anak gadis yang masih muda dan cantik, menempatkan mereka jauh dari rumah istri tuanya dan mengunjungi mereka hanya apabila mereka sedang suci (dari haidl). Meskipun demikian, mereka selalu berkoar-koar bahwa dengan itu mereka telah mempraktikkan islam secara benar, mengikuti sunnah Rasul dan manjalankan syariat secara kaffah.

Saya tidak menyangkal bahwa poligami diperbolehkan secara agama. Saya juga tidak menyangkal bahwa tidak semua mereka yang berpoligami itu ‘sebejat’ seperti yang saya sebutkan di atas. Memang ada di antara mereka yang berpoligami dengan niat tulus menolong istri mudanya dari kesia-siaan. Ada juga mereka yang berpoliami atas permintaan istrinya sendiri karna si istri tidak bisa memberikan keturunan. Menurut saya poligami adalah juga solusi dalam keadaan darurat seperti saat ayat poligami itu pertama diturunkan. Saya adalah orang islam yang percaya bahwa tidak ada kesalahan sedikitpun dalam al-Qur’an. Qur’an adalah standar kebenaran bagi saya dan bukan para penafsirnya. Apalagi hanya penafsir Qur’an (agamawan) yang sekarang ‘disembah-sembah’ masyarakat bukan karna keilmuannya melainkan hanya ‘numpang wibawa’ karena kakek-kakeknya dulu pernah banyak memberi jasa.

(Agama) islam bukan punya segelintir orang. Dia akan selalu ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dia tidak hanya ada di tumpukan teks-teks suci tapi juga ada di akal dan hati nurani. Kebenaran islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal dan hati nurani. Barang siapa berbicara lantang telah mempraktikkan ajaran Islam tapi menginjak nilai-nilai kemanusiaan dan bertentangan dengan nurani, bagi saya dia tidak jauh beda dengan Dajjal sang pembohong. Wallahu a’lam bi al-showab!



Tajamu’ Khomis, New Cairo

20 April 2008

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 6:32 AM  
2 Comments:
  • At June 14, 2008 at 9:35 PM, Blogger Arek Syari'ah said…

    wih uda kaya kaum feminis aja..
    tapi aku setuju loh,,
    bukan berarti gak sepakat sama matsna watsulasa wa ruba'nya annisa'..
    lagian sekarang kan uda jamannya hermeneutik, udahin aja deh yang namanya poligami..
    ^_^.

     
  • At July 19, 2010 at 8:58 AM, Blogger Unknown said…

    kayakx di MADURA bakal muncul aliran baru " ISLAM PROTESTAN" hehehe
    nyaingi matin luther king dg kristen protestanx,,wkwk..
    oo..jd ini alasan u tdk suka "laki2"...
    ya ga smuax zal...sy kira ada jutaan bahkan rtsan ato ribuan ato bahkan triliunan muslimin yg seide dg u....hehe

     
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment