Friday, June 13, 2008
Masyarakat Madura dan Hukum Kausalitas


Sewaktu memberi tahu bahwa HP saya dicopet di bis dan mau ganti nomor baru awal Pebruari lalu, ummy mengatakan. ‘.. itu karna sudah waktunya hilang tapi penyebabnya juga karna kamu kurang hati-hati..’

Memikirkan perkataan ummy itu membuat saya sekali lagi ingat tentang konsep takdir yang sampai saat ini masih -dan akan terus- membingungkan. Saya terus membatin, bagaimana mungkin HP itu akan hilang kalau seandainya saya berhati-hati dan menyimpannya di dalam tas yang saya kunci meskipun itu sudah ditakdirkan? Apakah HP itu tidak akan hilang bila saya menaruhnya di tengah jalan pasar salama satu malam jika belum ditakdirkan hilang? Kalau seandainya semua yang kita kerjakan sudah didektekan Tuhan sejak dunia ini belum diciptakan, mengapa Dia juga menyuruh kita berusaha? Mengapa juga Dia memberikan pahala dan dosa ika semua gerak kita adalah juga gerak-Nya? Jadi apa gunanya bergerak (berusaha) kalau kita hanya seumpama bulu di tengah gurun yang hanya pasrah pada gerak angin takdir?

Beberapa hari sebelum berangkat ke Mesir, ummy juga pernah berkata pada saya, ‘’… siapa yang belajar, dialah yang akan tahu. Siapa yang berhati-hati, dialah yang akan selamat. Siapa yang berjalan, dialah yang akan sampai ‘’. Saya selalu renungkan pernyataan itu dan menemukan suatu yang sangat saya percayai; setiap hal yang kita kerjakan semuanya berjalan di atas rel sebab-akibat (sababiyah). Konsep inilah yang tampaknya sekarang agak diabaikan oleh masyarakat .

Hampir tidak pernah saya mendengar beliau mengatakan sesuatu yang tidak dihubungkan dengan penyebabnya. Hal inilah yang selalu membuat saya terbiasa menghubungkan semua yang saya alami dengan penyebabnya pun hal ini juga yang membuat saya punya tabiat pemberontak; saya bisa melakukan apa saja yang orang lain bisa lakukan asal ada keinginan serta usaha; menggugat sifat fatalis (jabary) yang cenderung diterima turun temurun dalam lingkungan keluarga hingga ada satu persepsi dalam keluarga bahwa keluarga kami tidak mungkin bisa sukses (pendidikan dan karier) seperti keluarga orang lain karna itu sudah menjadi doa dari para orang tua dulu.

Sulit saya terima dalam akal sehat, bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal ratusan tahun lalu dijadikan tumpuan kesalahan dari keengganan (kemalasan?) berusaha dari anak turunnya?

***

Ummy saya bukanlah seorang yang suka membaca. Tingkat pendidikan beliau rendah meskipun tidak bisa diketegorikan sebagai ummiah (buta huruf) karna beliau bisa membaca huruf Arab dan ayat Qur’an.

Beliau juga tidak mungkin mengenal apa itu konsep takdir, jabariyah, qadariyah, Asy’aryah, Mu’tazilah dan lain sejenisnya. Meskipun begitu, ini tidak serta merta menjadikan beliau menjadi orang yang fatalis dan gampang menyerah pada keadaan.

Tampaknya beliau tidak perlu teori ulama klasik untuk mengetahui konsep takdir yang relevan untuk permasalah jaman yang sedang dihadapinya sekarang. Beliau cukup mengetahuinya dari pengalaman hidup yang diterima secara natural, ditambah dari filsafat dan pesan-pesan orang tua Madura yang diterima secara turun temurun.

Dalam hal bekerja dan mendapatkan rizki misalnya, beliau biasanya berpesan, ‘’… alakoh cong polanah lo’ kerah bedeh pangeran lu-jhuluh pesse..!’’. ( kerja nak, karna Allah tidak akan mengulurkan tangan-Nya memberikan uang pada mu)

Ummy –sebagaimana umumnya masyarakat Madura- juga terkenal benci tidur pagi. Sangat aib sekali dalam lingkungan Madura bila ada anak yang suka tidur pagi. Karna pagi adalah waktunya berusaha dan bekerja.

Sebenarnya keadan sepeti itu sangat baik. Tetapi yang menjadi kekurangan adalah kebanyakan dari mereka (arang Madura) tidak pernah kembali ke Madura bila sudah sukses di rantau. Setelah menjadi ‘orang besar’ Politikus, intelek, pemikir dan penulis mereka seakan malu (todus) menampakkan identitas ke-Maduraannya alih-alih mau membangun Madura dengan keahlian dan disiplin ilmu yang mereka bidangi.

***

Konsep takdir anti fatalistis inilah yang saya rasa sangat relevan diterapkan di masa kita sekarang. Ketika umat terlelap dalam tidur panjang, malas berpikir, berkubang dalam lubang gelap taklid, terkepung dalam jerat kemiskinan, kebodohan, kemunduran, keterbelakangan dan lain semisalnya, kita butuh orang-orang yang berani memberontak pada keadaan; menolak untuk menjadi korban teks dan korban konsep takdir yang hanya menyebabkan kita menjadi ‘loser’.

Para fatalis umumnya percaya bahwa semua yang mereka alami adalah sudah terberikan (given) dari Tuhan sehingga tidak begitu menaruh harapan besar pada hasil dari sebuah usaha. Hal ini berdampak pada kepercayaan mereka bahwa kekalahan, kemunduran dan ketertinggalan di segala dimensi kehidupan yang sekarang diderita umat Islam juga suatu yang telah ditakdirkan dan bukan karna kelemahan serta kesalahan. Kepercayaan semacam inilah yang semakin membuat umat terus lelap dalam tidur panjang ketertinggalan (takhalluf).

Untuk merubah keadaan ini tentu bukanlah hal yang mudah tetapi juga bukan suatu yang mustahil. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan keyakinan bahwa kita bisa melakukan apa saja yang kita mau asal hal itu bisa dicerna dalam hukum kausalitas (sababiyah). Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini –meskipun itu takdir Tuhan- yang tidak tunduk pada kekuatan hukum itu. Hingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa takdir Tuhan adalah juga hukum kausalitas itu sendiri.

Batu yang dilempar pasti akan jatuh ke bawah, Kertas dibakar pasti akan hagus terbakar, ayam yang dipotong lehernya pasti akan mati, seorang yang berjalan ke suatu tempat pasti lambat laun akan sampai, begitu juga jika umat muslim berusaha megejar ketertinggalannya dibanding umat-umat lain pasti suatu saat mereka akan bisa menjadi pemenang di segala bidang seperti masa jayanya dulu. Semua itu sudah menjadi ketetuan hukum alam; sunnatullah yang tidak siapapun bisa mengganti atau merubahnya. Wa lan tajida li sunnatillahi tabdîlâ!!!

Tajammu’ Khomis, New Cairo

Menjelang ujian musim panas (term 2) al-Azhar, Mei 2008

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 11:36 AM  
1 Comments:
  • At July 23, 2010 at 7:58 AM, Blogger Unknown said…

    konsep takdir sampai kapnpun akan tetp mearik u diperbincangkan....kl u ngmg ttg hkum kausalitas,,qmau ngmg ttg manusia dan tuhn dlm peranx thdp takdir,,,manusia punya "kehendak" (kehendak untuk mncri, mengubh, mgshakan,mperbaiki,menggali takdirx) tp Allah "maha berkehendak" (maha penentu, maha pen-judge, or we can say that Allah is the final decision maker)....
    sy kira bkn orang madura aja yg px pmikiran spti py u,,sy sbgai org jawa (atau tepatx blesteran jawa-madura)....juga mrskan hal yg sama dg u....
    o iya,,org madura yg berhsil jg tidk todus mengakui bahwa mrk adlh org madura, ex mahfud md,kepmimpinanx sgt identik dg corak madurax,,tegas, lugas, bijak, pembrani dan agamis.

     
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment