Seorang keponakan membangunkan tidur nyenyak saya suatu hari. Saat itu
habis turun hujan. Tidur sehabis hujan terasa nyaman sekali. ‘’Man… Aufal
nginjemmah camera digitallah,ghi?!. Motoah ‘pelangi’!’’.(Paman, Aufal mau pinjam cameradigitalnya,ya!? mau foto pelangi!) kata dia sambil tergopoh.
Dengan sedikit menahan kaget, buru-buru saya memberikan camera. Bukan karna
bangun dari tidur nyenyak yang membut saya kaget, tapi kata ‘pelangi’ yang
diucapkan Aufal.
Beberapa pertanyaan menjejali kepala saya sejak kejadian sederhana itu. Sejak
kapan ‘pelangi’ masuk ke dalam kosakata Bahasa Madura? Apakah bahasa Madura
sudah sedemikian sempitnya sehingga tidak bisa menemukan padanan kata pelangi?
Apa keponakan saya itu sudah tidak ‘PD’ berbahasa Madura juga seperti
teman-teman Madura saya yang kuliah di Mesir? Hingga saya sampai pada
kesimpulan serius; Tidak lama setelah ini bahasa Madura akan segera
ditinggalkan para penuturnya. Siapa yang bisa menjamin beberapa puluh tahun ke
depan keponakan, anak atau cucu kita masih bisa berbahasa Madura dengan baik
dan benar? Tidak ada!
Kesimpulan itu saya landaskan dari beberapa kenyataan yang saya jumpai
antara lain, pertama, para orang tua sudah tidak lagi bangga mengajari
anak-anak mereka berbahasa Madura.
Dalam beberapa kesempatan saya mengunjungi negara di mana para TKI asal
Madura bekerja, saya banyak sekali menjumpai mereka tidak lagi menggunakan bahasa
Madura dalam percakapan kesehariannya dengan anak-anaknya. Mereka lebih banyak
berbahasa Malaysia, Arab (‘ammiyah)
atau bahasa Indonesia. Selain para TKI Madura yang bekerja di luar negeri, para
orang tua yang ‘lebih bangga’ tidak
berbahasa Madura pada anak-anaknya adalah orang Madura yang biasanya bekerja di
kantor pemerintahan (menjadi guru atau PNS), Meskipun mereka berdomisili di
Madura.
Kedua, Penggambaran yang tidak utuh dari media terhadap
Bahasa dan orang Madura. Media sukses menggambarkan Madura dengan orang-orang yang berperangai
kasar, biasanya berkumis tebal dan membawa
celurit, logat bahasa yang kaku dan penduduk yang miskin. Lihat saja beberapa
film yang memerankan orang Madura hanya sebagai penjual rujak (Bok Baria, Si
Unyil), tukang jual sate (Cak Kumis, Punk in Love), penjual Ketoprak (Pak
Kumis, MESTAKUNG) dan puluhan tayangan-tayangan lainnya yang serupa.
Singkatnya, media menggambarkan ‘Orang dan bahasa Madura itu tidak keren!’.
Menurut saya, realita itulah yang menimbulkan
‘kerisihan’ sebagian dari kita untuk menggunakan bahasa daerah sendiri karna khawatir
akan ditertawakan. Maka jangan heran, banyak dari orang-orang Madura malu
mengakui asal kemaduraannya
dan lebih ‘nyaman’ bergaul dan bertutur dengan bahasa daerah orang lain.
Terbukti misalnya beberapa teman kita(Tentunya
mahasiswa/i yang masih labil!) yang dengan bangganya berbahasa Jawa atau Sunda
pada teman yang sama-sama berasal dari Madura meski dengan logat yang sangat
menggelikan.
Terakhir, tayangan yang menjejali anak-anak siang malam. Tentunya
semua dari kita sadar, betapa tidak sehatnya acara televise jaman kita sekarang
terutama untuk mental anak-anak.
Akhirnya, harus kita ingat lagi bahwa bahasa
adalah jatidiri bangsa. Kehilangan bahasa adalah kehilangan jatidiri itu
sendiri. Bahasa Madura adalah bangsa Madura itu sendiri. Tidak ada yang bisa
menjaganya selain kita sendiri.
Kalau hari ini kita terbiasa mendengar orang
bilang, ‘’saya entarah ka romanah kamu nanti’’, ‘‘bapakna kamu
akerja apa?’’, ‘’Depornya kamu kok bagus!’’, ‘’pelanginah bagus
paman, warna warni!’’, apa yang akan terjadi dengan bahasa indah ini 20 atau 50
tahun ke depan?! Masih adakah yang akan ingat kata andhang, bhudhak,
kranjhang, ap sa’aphan, tabuan, titis, kobongan
dan ratusan kosa kata Madura asli lainnya yang lambat laun sudah jarang kita
pakai karna lebih nyaman menggantinya dengan bahasa Indonesia?!
Saya sangat terkesan
dengan satu adegan film Iran pemenang Cannes berjudul ‘Separation’. Di saat ‘galau’
menjalani rumah tangganya yang hamper bubar, seorang diri merawat bapaknya yang
menderita Alzeimmer, Seorang ayah masih sempat mendiktekan kepada anaknya kota kata
asli bahasa Persia. Tanyanya suatu hari: ‘Apa bahasa persianya kata ‘warranty’
(jaminan)?” Ketika Si anak menjawab, ‘zamanat’ dia malah marah dan
mengatakan bahwa Itu bukan kosa kata Persia melainkan kosa kata bahasa Arab,
karna ‘warranty’ dalam bahasa Persia adalah ‘poshtvaneh’. Lihat, betapa
telitinya mereka menjaga bahasanya dari pengaruh kosa kata bahasa asing!
Seperti di pembukaan tulisan ini, Aufal Mungkin hanya
tidak tahu satu kosa kata bahasa Madura, tapi ini juga berarti dia sudah kehilangan
satu jatidirinya dan kemudian –dengan bantuan media yang mejejalinya- dia
mencoba mengambil dari kepunyaan orang lain yang dia anggap kaprah. Kalau
kenyataan ini berkelanjutan, saya menghawatirkan bahasa Madura mulanya akan
tercampur baur, lalu menjadi kacau dan kemudian hilang. Yang tersisa mungkin
hanya orang Madura yang hanya bisa bilang ‘ enggi, bunten, sakalangkong
dan dek remmah’ seperti yang digambarkan film-film itu, tak lebih!.