Sebuah kapal ferry pelan merarapat.
Di dermaga timur Kamal Madura, di ujung Maghrib yang riuh dengan suara adzan.
Mentari tenggelam di ufuk barat.
Temaramkan warna langit yang merona jingga.
Sepasang kekasih bergandengan tangan berjalan kaki.
Menikmati senja, menikmati jingga, menikmati rasa yang mustahil orang lain mengerti.
Eratkan pegangan tangan, eratkan ikatan hati.
Saat tiba-tiba isak tangis ketulusan itu terdengar kembali.
‘’ jangan pergi.. jangan akhiri ini... !’’
Pinta itu mengiang tanpa henti sampai hari ini.
Meski telah berlalu puluhan kali bentuk purnama berganti.
Malam ini…
Terlihat kembali aura lembut wajahnya
Terbayang kembali sinar teduh matanya
Terkenang lagi senyum damai bibirnya
Terngiang lagi suaranya ketika dulu dia sering bilang,’..Dente’ legghi’ molenah sekolah. Mon lo’ edentek, eyatemmah…!’
( Tunggu nanti sepulang sekolah. Kalau tidak, nanti ku hantam!)
Aku rindu sekali berada di dekatnya lagi.
Bercanda bercerita… bertukar rasa.
Aku rindukan lagi saat-saat itu.
Saat ketika setiap pagi seorang cantik menyambutku dengan senyum
di gerbang sekolah,
kemudian mengisi waktuku dengan keindahan ‘tuk kukenangi
sebagai teman melawan insomnia sampai ujung malam.
Saat kami sering mencuri pandang ketika menyanyi ‘Indonesia Raya’
di upacara bendera Senin, dan
Saat kami sangat membenci hari Minggu-hari libur.
Wahai Pemberi rasa penguasa semesta….
Kami ciptaanMu rasa itu karuniaMu…
Apapun yang terjadi di akhir perjalanan terindah ini.
Kami akan selalu menamakannya sebagai ‘keadilan’ Mu.
Karna hanya ada satu titik kecil keyakinan di sini.
-Di antara liarnya hati untuk selalu memberontak dan menggugat-
Bahwa Kau mustahil akan berbuat mendlalimi.
Tajamu’ Khomis, New Cairo
suatu malam, 21 April ‘08
|